Ki GEDE DAN DESA (CIREBON) ASAL-USUL DESA CUPANG asal mula nama Cupang (Desa Cupang) beberapa orang menyebutkan, datang dari s...
Ki
GEDE DAN DESA (CIREBON)
ASAL-USUL DESA CUPANG
asal
mula nama Cupang (Desa Cupang) beberapa orang menyebutkan, datang dari suku
kata Cu serta Pang, yang mangandung makna Cu datang dari kata Cukup serta Pang
datang dari kata Pangan. Jadi Cupang berasal atau di ambil dari nama ikan,
yakni ikan Cupang (Ikan Tempele).
Pada
jaman dulu di tempat saat ini yang dimaksud Cantilan Desa Cupang hidup sepasang
suami – istri bernama kakek serta nenek Dawud yang datang dari Mesir yang lebih
di kenal dengan sebutan Buyut Dawud. Buyut Dawud hidup satu hari dari hasil menangkap
ikan lewat cara nyeser atau mungkin dengan langkah menempatkan bubu disungai.
Dari hasil tangkapan itu Buyut Sawud hidup berkecukupan.
Disuatu
hari kakek Dawud pergi kesungai untuk mengangkat bubu (alat penangkap ikan)
bukanlah main tercengangnya karna tidak seperti umumnya, saat bubunya diangkat
nyatanya didalamnya cuma seekor ikan kecil berwarna merah, yakni ikan Tempele
atau dimaksud juga ikan Cupang.
Kakek
Dawud pulang, lalu ikan kecil itu diserahkan pada nenek Dawud, oleh nenek Dawud
ikan itu dimasukan dalam kuali, anehnya dalam kuali ikan itu jadi membesar
hingga memenuhu kuali serta dalam kondisi telah mati.
Lihat
peristiwa itu kakek Dawud melarang ikan itu dibuat, oleh kakek Dawud ikan itu
setelah itu dibungkus kain putih serta dikubur didekat pohon asam samping barat
balai Desa Cupang yang lama. Kuburan itu saat ini di kenal dengan sebutan Ki
Buyut Cupang.
Sesudah
kakek serta nenek Dawud wafat, mereka dikubur didekat kuburan itu serta sejak
saat itu kampong itu dinamakan kampung Cupang.
ASAL USUL DESA BUDUR CIWARINGIN
Nama
Budur tidak terlepas dengan nama Ki Brajanata. Mengapa awalannya dapat
demikian?
Ki
Brajanata hidupnya ada zaman Prabu Siliwangi, Ki Brajanata tidak sempat hidup
tinggal, Ki Brajanata sukanya hidup mengembara sesuka hati. Sesungguhnya banyak
kerajaan yang memohon Ki Brajanata untuk tinggal di kerajaannya untuk
mengajarkan pengetahuan kanuragan atau untuk jadi penasehat Raja Sebab Ki
Brajanata itu di kenal sakti mandraguna, tubuhnya besar serta tinggi, kekar
serta ganteng (rambutnya lurus hitam panjang, kulitnya sawo masak) dan sifatnya
bijaksana di semua masalah, serta suka guyon. Ki Brajanata ada yang tawarkan
pangkat, jabatan dan lain-lain hanya tersenyum... serta mengucap terima kasih
lantas pergi.
Ki
Brajanata sehari-harinya mengembara mencari pengalaman serta pengetahuan
sembari menolong bila ada rakyat yang tertindas.
Hingga
datang di eranya Syekh Syarif Hidayatullah yakni cucunya Prabu Siliwangi. Ki
Brajanata mulai tinggal di satu diantara rimba yang beliau sebut dengan nama
SURA. sebab saat pertama tinggal di rimba itu berada di bln. satu (bln. satu
jawa namanya Sura/bln. Islam islam As-Sura) maka dari itu rumahnya dimaksud
Sura. Ki Brajanata buat gubug di pinggir sumur yang ada kayu malangnya.. Sumur
itu di zaman dulu jadi tempat mandi serta keperluannya beberapa bidadari yang
turun dari kahyangan.. (hanya saat ini sumur itu dimaksud Sumur Kayu Walang).
Disalah
sehari.. Ki Brajanata melancong.. Ki Brajanata datang di satu diantara langgar
(langgar/tajug/musholla. Tajug yakni tempat yang kudu dijugjug. Musholla yakni
tempat sholat), hanya Ki Brajanata tidak ingin masuk, inginnya cuma mencari
pengertian dari luar saja.. dari jauh Ki Brajanata dengarkan Syekh Syarif
Hidayatullah sekali lagi memberi ceramah/saran pada rakyat Cirebon, mengulas
problem syahadat serta sholawat..
Didalam
langgar mendadak Syekh Syarif Hidayatullah mengucap salam :
''Assalamu'alaikum... Ki.. janganlah ngaji kuping saja.. silakan masuk.. ''
Rakyat
Cirebon yang ada di dalam langgar begitu kaget serta heran mendadak Syekh
Syarif Hidayatullah mengucap salam serta bicara demikian untuk seorang?
mengucap salam serta bicara sama siapa fikir mereka?
Satu
diantara Rakyat Cirebon ajukan pertanyaan pada Syekh Syarif Hidayatullah :
''Kanjeng mengucap salam serta bicara dengan siapa? sedang yang ngaji telah
berada di dalam semuanya? ''.
Syekh
syarif Hidayatullah menjawab : ''diluar ada sema/tamu''
Syekh
Syarif Hidayatullah memanglah insan yang " weruh ing sejeroe Winara
".
saat
Syekh Syarif berdiri serta mendekati Ki Brajanata.,
Ki
Brajanata tersenyum serta jadi cepat cepat lari...
Syekh
Syarif Hidayatullah atau yang lebih Sunan Gunung Djati turut tersenyum lihat
kelakuannya Ki Brajanata.
Syekh
Syarif Hidayatullah dengan Ki Brajanata keduanya sama tahu... jadi tidak sakit
hati.
Rakyat
Cirebon ajukan pertanyaan pada Syekh Syarif Hidayatullah : ''Kanjeng siapa
sejatinya aki-aki gagah ingin? ''
Syekh
Syarif Hidayatullah menjawab : ''Sejatinya aki-aki gagah itu insan BUDUR
(berarti Lebih, Linuwih atau bhs Arabnya Purnama yang menyinari).
Sejak
saat itu wong Cirebon bila mengatakan tempatnya Ki Brajanata dengan sebutan
Budur.
ASAL USUL DESA SINDANG LAUT
Desa
Sindang Laut yaitu satu diantara desa tertua di Cirebon, hal semacam ini
didasarkan pada pertimbangan kalau leluhur orang-orang Sindanglaut telah ada
mulai sejak dulu sebelumnya berdiri Kerajaan CarubanCirebonyang menurut system
jaman beberapa wali dimaksud jaman Dupala.
Sebelu
agama islam berkembang Desa Sindanglaut ini dahulunya adalah satu pedukuhan
yang bernama Pedukuhan''DUKUH AWI''Dukuh berarti daerah atau tempat tempat
tinggal serta Awibhs Sunda berarti Bambu. jadi ''Dukuh Awi''berarti daerah
berbambu/tempat tumbuhan bambu, nama itu terkait dengan kondisi alam di
Sindanglaut yang memanglah hingga sekarang ini terdapat banyak tanaman
bambu/awi yang macamnya berbagai macam.
Pada
awal penebaran agama islam, Pangeran Walangsungsang / Pangeran Cakrabuana / Ki Somadullah
/ Haji Abdullah Iman/Pangeran Sapujagat/Ki Kuwu Caruban II berhasil menaklukan
kerajaan-kerajaan kecil di lokasi Cirebon yang beragama Hindu atau Budha. oleh
karna kesuksesannya tersebut beliau memperoleh sebutan Pangeran Sejagat, satu
diantara negeri/kerajaan yang berhasil di taklukannya yaitu Negri
Japurasekarang dimaksud Astanajapurayang adalah sisi dari Kerajaan Galuh,
kerajaan Japura ketika itu di Pimpin oleh Prabu Amuk Marugul Sakti Mandraguna
karna populer juga akan kesaktiannya.
Sesudah
menaklukan Negri Japura, Pangeran Sapujagat dengan beberapa prajurit berkunjung
di Dukuh Awi persisnya di Sindang Pncuran saat ini, sedang pusat Pedukuhan
Dukuh Awi terdapat di ujung Barat yang saat ini di kenal dengan sebutan Sindang
KosongDaerah Dangdeur.
Mengenai
tempat persinggahan Pangeran Sapujagat serta beberapa prajurinya itu dimaksud
Sindang Pancuran, karna di tempat itu ada mata air yang memancar yang
diketemukan oleh Pangeran Sela Ganda serta Pangeran Sela Rasa, dengan
pertimbangan kalau mata air itu adalah sumber kehidupan orang-orang, jadi
diadakanlah musyawarah beberapa tokoh Dukuh Awi, yaitu :
-
Pangeran Cakrabuana/Ki Kuwu Caruban II/Pangeran Sapujagat
-
Pangeran Kuningan
-
Pangeran Gelang
-
Pangeran Galing
-
Pangeran Sela Ganda
-
Pangeran Sela Rasa
-
Pangeran Demas
-
Pangeran Selaka
-
Patih Nurzaman
-
Syekh Bakir
-
Ki Bagus Tapa
-
Ki Syi'ah
-
Ki Sumur Tutup
-
Mbah Pulung
-
Nyi Sondhara
-
Nyi Sondhari
-
Nyi Subanglarang/Nyi Subang Krancang
-
Nyi Randa Embat Kasih
Dari
hasil musyawarah yaitu orang-orang yang tinggal di Sindang KosongDaerah
Dangdeurdipindahkan ke tempat yang dekat dengan mata air Pancuran tersebut
pusat Pedukuhannya kesebelah Timur sungai CiPutihsekarang termasuk juga Blok
Manis, hal semacam ini untuk memperluas hubungan dengan Pedukuhan beda dan
untuk membuat lancar sistem Islamisasi, dalam musyawarah itu disetujui juga
kalau nama Duku Awi dirubah dengan nama Sindanglaut yang berarti tempat
persinggahan Pangeran Sapujagat/Ki Kuwu Caruban II dengan Prajurit.
Sesudah
sebagian lama Pangeran Sapujagat dengan beberapa prajuritnya berkunjung beristirahat
di Sindang Pancuran, beliau meneruskan perjuangannya menebarkan islam ke lokasi
beda. Supaya tidak menyebabkan keraguan dari pihak lawan, pra prajurit
diperintahkan menyamar jadi rakyat umum serta atas saran Patih Nurzamanasal
Campayang sudah gabung dengan prajurit Pangeran Sapujagat beberapa prajurit itu
mengubur beberapa persenjataan serta perbekalannya.
Kuburan
persenjataan serta alat perbekalan Pangeran Sapujagat serta beberapa prajurit
itu saat ini masih tetap berada di areal pemakaman Sindang Pancuran, yang
dengan mata air Pancuran peninggalan Pangeran Sapujagat masih tetap
dikeramatkan oleh beberapa orang-orang, untuk penuhi keperluan air untuk
masyarakat dibuatlah Pancuran ke-2 yang berada disamping selatan pancuran
pertama.
Didalam
perubahan setelah itu, pusat Pemerintahan Desa Sindanglaut sudah 3x beralih
tempat yaitu :
1.
Di Sindang KosongDangdeur jadi pusat Pedukuhan Dukuh Awi
2.
Di Sindang TengahSekarang termasuk juga Blok Manis
3.
Di Sindang Tengah sisi TimurSekarang termasuk juga Blok Pahing
Pindahnya
pusat Pemerintahan dari Sindang Tengah sisi BaratBlok Maniske sisi TimurBlok
Pahingitu berlangsung sekitaran th. 1811 pada zaman Pendudukan Refles/Inggris
di Indonesia, dengan argumen untuk mempermudah hubungan/komunikasi antar desa
beda serta antar desa dengan Kota.
ASAL USUL DESA CILESUG
Untuk
mengamankan daerah dari beberapa orang yang tidak ingin masuk islam, Ki Bledug
Jaya memohon dikirimi prajurit kuat dari Caruban Larang untuk melatih beberapa
pemuda serta beberapa orang dewasa masyarakat Pagedangan. Sesudah pertolongan
pasukan datang, mereka melatih masyarakat Pagedangan disuatu tempat, hingga
tempat itu jadi berdebuledug-bahsa Jawasampai-sampai airCai-bhs Sundayang juga
akan dipakai untuk mandi, membersihkan serta minum bercampur ledugdebuakhirnya
tempat latihan itu populer dengan sebutan Ciledug sampai saat ini.
Untuk
penuhi keperluan Keraton Cerbon, Ki Bledug Jaya diperintahkan oleh Syarif
HidayatullahSunan Gunungjati supaya berdiam di Keraton Caruban Larang, namun
pada hari Senin serta Kamis Ki Bledug Jaya diperbolehkan untuk lihat daerahnya.
Beberapa orang masih tetap yakin kalau hingga saat ini Ki Bledug Jaya pada hari
Senin serta Kamis ada di Ciledug. Pada hari Senin serta Kamis beberapa orang
datang berziarah ke tempat itu.
Pada
era ke 15 daerah Pagedangan termasuk juga Lokasi Kerajaan Galuh yang kuasai
daerah Jawa Barat hingga batas CipamaliSungai ini saat ini jadi batas pada
Provinsi Jawa Barat serta Jawa Tengah. Agama yang di anut oleh orang-orang saat
itu umumnya berpedoman agama Hindu-Budha dampak dari luar daerah. Ketika itu,
di Cirebon sudah berkembang agama islam yang diperkembang oleh Pangeran
WalangsungsangMbah Kuwu Cerbon, putra Prabu Siliwangi penguasa Kerajaan
Galuh/Pajajaran. Dalam rencana meningkatkan/mensiarkan agama islam, Pangeran
Walangsungsang dibantu oleh putra Nyai Rarasantang adiknya yang bernama Syarif
Hidayatullah yang lalu populer dengan sebutan Sunan Gunungjati. Dengan terdapatnya
Pangeran Walangsungsang menebarkan agama islam, jadi lokasi Kerajaan Galuh
diliputi rasa kecemasan, beberapa sesepu Galuh yang beragama Sanghiang terasa
kehilangan wibawa serta keyakinan dari masyaraktnya, diantaranya Ki Arya Kidang
Monitoran yang tengah kecewa karna salah seseorang anaknya yang bernama Raden
Layang Kemuning mengundurkan diri jadi Pepatih Kerajaan Galuh, meninggalkan
semua kebesaran serta pergi mengembara tanpa ada pamit, sedang tempat maksudnya
juga tidak di ketahui rimbanya, untuk mencarinya Ki Arya Kidang Monitoran
mengutus Nyi Ratu Layang Sari adik Layang Kemuning.
Dalam
pengembaraannya, Raden Layang Kemuning tinggal serta berdiam menyendiri di satu
tempat di pinggir Sungai Ci Sanggarung, ia menyamar jadi tukang nyarahmengambil
kayu yang tenggelam di sungai serta bertukar nama dengan nama Malewang. Disuatu
hari, langit mendung, halilintar bergelegar serta turunlah hujan yang begitu
deras seperti ditumpahkan dari langit, karena hujan lebat Sungai Ci Sanggarung
banjir mendadak Airnya menggemuruh serta berkali-kali menghanyutkan semua yang
menghambat, termasuk juga badan Ki Malewang yang tengah nyarah turut tenggelam,
dalam kondisi pingsan ia terdampar di daerah Pagedangan, tidak ada selembar
kainpun yang menempel di badannya, karna saat nyarah bajunya ditempatkan di
pinggir SungaiTempat terdamparnya Ki Malewang saat ini bernama Pelabuhan.
Ratu
Layang Sari yang di utus ayahandanya untuk mencari kakaknya yang bernama Raden
Layang Kemuning belum juga memperoleh hasil, pada akhirnya sampailah ditempat
Ki Malewang terdampar, lihat ada badan seseorang lelaki yang tergeletak di
pinggir sungai dalam kondisi tanpa ada baju, jadi hasrat untuk membantu
diurungkan, namun ia melemparkan selendang untuk menutupi badan yang tergeletak
itu, lau ia meninggalkan tempat itu dengan tidak menduga kalau yang tergeletak
yaitu badan Kakanya yang sampai kini ia mencari. Sesudah Ki Malewang sadar dari
pingsannya, bukanlah main kagetnya ada ditempat itu dalam kondisi telanjang,
cuma tertutup selembar selendang, ia juga bertanya-tanya dalam hati, siapa
orang yang sudah menutupi tubuhnya dengan selendang itu.
Di
Pagedangan itu Ki Malewang membuatt gubuk untuk rumah, serta pohon-pohon di
sekelilingnya ditebang untuk jadikan tempat pertanian, daerah pinggir sungai
Cisanggarung tempat tempat tinggal Ki Malewang itu begitu subur, hingga
beberapa orang berdatangan ke tempat itu, serta lama kelamaan ramailah daerah
Pagedangan banyak penghuninya, sebagian tahu lalu, datanglah enam orang utusan
dari kerajaan Galuh sesudah mendengar kehadiran Raden Layang Kemuning di
Pagedangan dengan maksud supaya Raden Layang Kemuning ingin kembali pada
Kearajaan Galuh, namun Raden Layang KemuningKi Malewangmenolak, bahkan juga
orang utusan itupun menginginkan tinggal di Pagedangan dengan maksud mengabdi
pada Raden Layang Kemuning meningkatkan Pedukuhan.
Ke-6
orang itu yaitu :
1.
Ki Gagak SingalagaKi Gatot Singalaga
2.
Ki Angga Paksa
3.
Ki Angga Raksa
4.
Ki Kokol
5.
Ki Jala RawaKi Sekar Sari
6.
Nyi Godong LamarantiDisebut Nyai
Saat
Mbah Kuwu Cerbon ketahui kalau daerah samping timur ada satu Pedukuhan yang
masih tetap berpedoman agama Sanghiang, jadi ia dengan pengikutnya mendatangi
Pagedangan untuk mengemukakan agama islam, kehadiran Mbah Kuwu Cerbon di terima
dengan baik oleh Ki Malewang, yang lalu ia bersama beberapa pengikutnya masuk
agama islam dengan tulus.
Untuk
menaikkan kepercayaan, Ki Malewang dengan pengikutnya mengangkat sumpah dimuka
Mbah Kuwu Cerbon jadi bukti kesetiaannya memeluk agama islam, pada saat sumpah
itu dikerjakan, mendadak langit mendung gelap tertutup mendung serta halilintar
yang begitu dahsyat menyambar Ki Malewang, nada menggelegar : Bleduuuugdidaerah
itu dimaksud Bledug. Badan Ki Malewang tetaplah tegar, tidak bergetar serta
tidak beralih mulai sejak peristiwa itu Ki Malewang memperoleh titel ''Ki
Bledug Jaya''.
Pada
th. 1479 Syarif Hidayatullah diangkat Susuhunan di Caruban Larang, beliau
memperluas Keraton Pakungwati serta juga akan dibangun Masjid Agung Sang
Ciptarasa, karna membutuhkan kayu jati yang baik serta kuat, jadi Sinuhun
memberikan tugas Ki Bledug untuk mencarikan Kayu Jati yang baik.
Dengan
beberapa pengikutnya Ki Bledug Jaya menebang kayu di Bulak Kasubdaerah Dukuh
Jeru-Brebesdan kirimnya ke Cirebon. Keunggulan serta sisa kayu yang di bawa ke
Cerbon oleh Ki Bledug Jaya serta beberapa Pengikutnya di buat Bali yang besar.
BalaiBalebesar itu dipakai untuk tempat bermusyawarah dalam rencana penebaran
agama islam. DiBalai itu juga Mbah Kuwu Cerbon memimpin serta mengatur langkah
penebaran agama islam, Balai itu lebih di kenal dengan sebutan Bale Kambang
RanjangBale Kambangitu memiliki enam buah tiang penyangga, hal semacam ini
ditujukan untuk kembali kenang jasa ke-6 pengikutnya yakni : Ki gagak Sigalaga,
Ki Angga Paksa, Ki Angga Raksa, Ki Kokol, Ki Jalak Rawa serta Nyi Godong
Lamaranti.
Bale
Kambang ini terkecuali tempat musyawarah juga dipakai oleh ki Bledug Jaya untuk
ambil sumpah beberapa orang yang baru masuk agama islam supaya tidak kembali
pada agama Sanghiang.
Ki
Bledug Jaya/Ki Malewang/Raden Layang Kemuning meninggal dunia di Cirebon serta
atas Jasanya dalam penebaran agama islam beliau dimakamkan di Astana Gunungjati
Blok Ganggong Pamungkuran.
Dari
histori asal-usul Desa Ciledug ini mudah-mudahan anak cucu kita terutama daerah
Ciledug juga akan mengenalnya tau juga akan histori desanya serta tidak lupa
juga untuk mendoakan beberapa leluhur itu yang sudah berjasa sampai kini,
mudah-mudahan bermanfa'at untuk kita semuanya.
ASAL – USUL DESA BABAKAN
Ki
Gede Lamah Abang dari Indramayu yang populer dengan kesaktiannya, tengah
memanggul pohon jati yang begitu besar dari daerah Gunung Galunggung untuk
menolong pendirian masjid di Cirebon. Di dalam perjalanan ia dihadang seekor
macan putih yang segera menyerangnya untuk merebut pohon jati dari
panggulannya. Lihat seekor macan putih yang menginginkan merebut pohon jati
dari panggulannya, Ki Gede Lemahabang tidak tinggal diam. Dengan sekuat tenaga
ia menjaga jati yang dipanggulnya itu jangan pernah beralih tangan.
Terjadi
persaingan perebutan pohon jati pada Ki Gede Lemahabang dengan seekor macan
putih yang sesungguhnya yaitu jelmaan Ki Kuwu Cerbon. Maksud Ki Kuwu menghambat
perjalanan Ki Gede Lemahabang, supaya pohon jati itu janganlah sangat cepat
hingga ke Cirebon. Bila hal tersebut berlangsung, jadi pengetahuan kewalian
mesti di ajarkan pada beberapa santri yang belum juga penuhi prasyarat untuk
terima pengetahuan itu.
Persaingan
perebutan pohon jati itu buat situasi ditempat itu begitu mengerikan. Ke-2
makhluk itu sama-sama keluarkan pengetahuan kesaktian, hingga menyebabkan
prahara serta di sekitarnya banyak pohon yang rubuh. Pohon-pohon yang rubuh itu
seperti terbabak benda tajam. Daerah tempat terjadinya momen itu lalu jadikan
nama satu pedukuhan Babakan.
Saat
selalu berlalu, rupanya kesaktian Ki Gede Lemahabang ada dibawah kesaktian Ki
Kuwu Cerbon yang berwujud macan putih. Dia tidak mampu sekali lagi menjaga apa
yang di panggulnya. Pohon jati itu hilang dalam panggulannya, berbarengan
dengan hilangnya macan putih yang menghalang-halangi perjalanannya.
Saat
ini pedukuhan Babakan sudah beralih jadi Desa Babakan dalam lokasi Kecamatan
Ciwaringin. Desa Babakan terdapat di ujung samping barat, adalah daerah
perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Kabupaten Majalengka.
Memijak
th. 1705, seseorang pengembara yang senantiasa menebarkan agama Islam bernama
Syekh Hasanudin bin Abdul Latif datang dari Kajen Kecamatan Plumbon Kabupaten
Cirebon datang di pedukuhan Babakan. Di Pedukuhan Babakan Syekh Hasanudin
membuat satu mushala kecil. Dimuka mushalahnya ada dua pohon jati yang begitu
besar. Untuk kehidupan setiap harinya Syekh Hasanudin bertanam palawija di
sekitaran tempat itu.
Dalam
menyiarkan agama Islam, Syekh Hasanudin banyak memperoleh halangan, ejekan,
cercaan, serta tantangan dari banyak daerah di sekelilingnya seperti dari Desa
Budur, Pedukuhan Jati Gentong, Pedukuhan Tangkil yang berada di bawah kekuasaan
Ki Gede Brajanata yang tidak ingin masuk Islam. Tantangan itu bahkan juga
datang dari Pedukuhan Babakan tersebut, tetapi semuanya halangan itu tidak
menurunkan kemauan Syekh Hasanudin menebarkan agama Islam.
Pada
usianya yang sudah tua, Ki Gede Brajanata wafat dunia. Sepeninggal Ki Gede
Brajanata, penebaran agama Islam yang dikerjakan Syekh Hasanudin alami
perkembangan. Sudah banyak orang-orang yang ingin memeluk agama Islam serta
memperdalam pengetahuan syariat Islam. Walaupun banyak pengikut-pengikut Ki
Gede Brajanata yang selalu menentangnya tidak jadi pengahalang yang bermakna
untuk Syekh Hasanudin untuknterus berjuang. Mushala yang kecil itu telah tidak
dapat sekali lagi menyimpan beberapa orang yang menginginkan belajar
pengetahuan. Beberapa santri setuju untuk membuat sekali lagi mushala yang
semakin besar.
Ketika
membuat mushala tersebut beberapa santri berikan julukan pada Syekh Hasanudin
jadi gurunya dengan panggilan Ki Jatira, karna rutinitas gurunya itu
beristirahat dimuka mushala dibawah dua pohon jati yang besar. Jati = pohon
jati, serta ra = loro (dua).
Nama
Ki Jatira jadi populer hingga ke pusat ajaran Islam yang berada di Amparanjati,
Gunung Sembung. Demikian halnya nama Ki Jatira yang mengajarkan pengetahuan
agama Islam serta pengetahuan kanuragan terdengar oleh pihak Belanda, yang
dipandanganya juga akan membahayakan kekuasaanya di Cirebon.
Pada
th. 1718, serdadu belanda datang serta menyerang padepokan Ki Jatira di
Pedukuhan Babakan. Serangan itu memperoleh perlawanan yang sengit dari beberapa
santri. Karna peperangan itu tidak seimbang, pada akhirnya beberapa santri bisa
ditaklukkan serta padepokan Ki Jatira dihancurkan dibakar habis. Momen itu di
kenal dengan nama Perang Ki Jatira, yang banyak mengorbankan beberapa santri,
tewas jadi syuhada. Ki Jatira sendiri bisa diselamatkan oleh muridnya serta
dibawa ke Desa Kajen.
Pada
th. 1721, Ki Jatira datang sekali lagi ke pedukuhan Babakan untuk melanjutkan
syiar Islamnya. Kehadirannya itu diterima senang oleh orang-orang, lalu th.
1722 Ki Jatira bersama orang-orang membuat kembali padepokan yang sudah hancur
itu. Tempatnya dipindahkan ± 400 m ke samping selatan dari padepokan yang lama.
Ketenaran
serta keharuman nama Ki Jatira yang mengajarkan pengetahuan agama Islam serta
pengetahuan kanuragan, tercium sekali lagi oleh Belanda. Pada th. 1751 serdadu
Belanda kembali menyerang padepokan Ki Jatira. Walau demikian terlebih dulu,
gagasan Belanda itu telah di kenali oleh Ki Jatira. Hingga sebelumnya penjajah
itu datang untuk menyerang padepokan, terlebih dulu Ki Jatira membubarkan
beberapa santrinya serta Ki Jatira sendiri mengungsi ke Desa Kajen, menanti
kondisi aman. Setibanya beberapa serdadu Belanda di padepokan Ki Jatira sudah
kosong tak ada penghuninya. Untuk ke-2 kalinya padepokan Ki Jatira dibakar oleh
serdadu Belanda.
Dalam
pengungsiannya, Ki Jatira terkena penyakit pada usianya yang sudah uzur. Pada
saat sakit, beliau berpesan pada keponakannya yang sekalian menantunya bernama
Nawawi untuk datang ke Pedukuhan Babakan melanjutkan perjuangannya. Pada th.
1753 Ki Jatira meninggal dunia serta dimakamkan di Desa kelahirannya sendiri
yakni Desa Kajen Kecamatan Plumbon.
Th.
1756, Ki Nawawi membuat satu mushala panggung yang begitu besar, memiliki
bentuk mirip masjid. Jaraknya ± 300 m ke arah selatan dari padepokan Ki Jatira
yang ke-2.
Th.
1810, pada periode cucu Ki Nawawi bernama Ki Ismail, beberapa santri mulai
membuat tempatnya semasing yang di kenal dengan nama Pondokgede. Ki Ismail
meninggal dunia th. 1916, pengasuh Pondokgede diteruskan oleh keponakannya yang
menantunya bernama Kiai Muhamad Amin bin Irsyad, yang di kenal dengan sebutan
Ki Amin Sepuh datang dari Desa Mijahan Kecamatan Plumbon. Pada saat itu
Pondokgede menjangkau masa keemasan. Mushala yang dibuat Ki Nawawi pada th.
1769 resmi jadikan masjid. Pondokgede pada akhirnya di kenal dengan nama Pondok
Pesantren Raudlatultholibin.
Th.
1952, pada saat agresi Belanda ke-2, Pondokgede waktu diasuh Ki Amin Sepuh
terserang kembali oleh Belanda. Kitab suci serta kitab-kitab beda diobrak-abrik
dan dibakar. Beberapa santri dengan Ki Amin Sepuh serta semua keluarganya
mengungsi.
Dua
th. lalu yakni th. 1954, Kiai Sanusi salah seseorang santri Ki Amin Sepuh
datang ke Pondokgede serta membenahi kembali bangunan serta sisa-sisa kitab
yang dibakar, hingga bangunan serta halaman Terlihat rapi kembali, th. 1955 Ki
Amin Sepuh datang kembali pada Pondokgede dibarengi oleh beberapa santrinya
untuk meneruskan evaluasi agama Islam, hingga meninggal dunianya pada th. 1972.
Sesudah
meninggal dunianya Ki Sanusi pada th. 1986, pengasuh pondok dilanjutkan oleh Ki
H. Fuad Amin hingga th. 1997. Dilanjutkan oleh K. H. Abdullah Amin hingga th. 1999.
Ki Bisri Amin mengasuh pondok cuma satu tahun yakni dari th. 1999 – 2000. Saat
ini Pondok Pesantren di asuh oleh K. H. Azhari Amin serta K. H. Zuhri Affif
Amin, keduanya yaitu putra K. H. Amin Sepuh. Beliau berdua berusaha keras untuk
tingkatkan pendidikan agama Islam, juga pendidikan umum yang lain diaplikasikan
pada beberapa santrinya untuk bekal hidupnya didunia serta akhirat.
Awal
mulanya Babakan cuma daerah pedukuhan yang disebut cantilan dari Desa Budur.
Atas kehendak orang-orang, pada th. 1773 memisahkan diri dari Desa Budur jadi
desa yang mandiri, yakni Desa Babakan. Kuwu yang pertama yaitu Surmi dari th.
1798 – 1830.
ASAL
USUL DESA ARJAWINANGUN
Dalam
pengembaraannya untuk mencari serta memperdalam agama islam, dua orang
Padjajran Raden Walang Sungsang serta adiknya Nyi Rarasantang hingga ke Mesir
menunaikan beribadah haji. Raden Walang sungsang pulang ke Cirebon dengan
sebutan Haji Abdullah Iman, sedang Nyi Rarasantang tetaplah ada di Mesir karna
sudah bertemumikan Syarif Abdullah seseorang Raja Mesir. Berputra dua oranng
yakni Syraif Hidayahtullah serta Syarif Nurullah. Selang beberapa saat sesudah
Syarif Hidayatullah dilahirakan, ayahandanya meninggal dunia.
Memijak
umur dewasa, Syarif Hidayahtullah berpamitan pada ibunya pergi ke Cirebon sembari
mencari guru untuk memperdalam ajaran Agama Islam. Di Cirebon berjumpa dengan
uwaknya H. Abdullah Iman atau dimaksud juga Pangeran Cakra Buana yang sudah
mempunyai seseorang putri bernama nyi Mas Pakung wati, dari prnikahannya dengan
Nyai Endang Geulis. Syarif hidayahtullah dinikahkan dengan Nyi Mas Pakung wati
serta menempati Keraton Pakung Wati dengan titel Sultan Syarif Hidayahtullah
atas pemberian nama uaknya P. Cakra Buana.
Baru
saja di Cirebon, Syarif Hidayahtullah pergi mengembara ke Negri Cina untuk
menuntut pengetahuan serta menebarkan Agama Islam. Di Negeri Cina Syarif
hidayahtullah begitu dihormati oleh orang-orang yang didatangi serta banyak
juga yang berpedoman Agama Islam. Karna dipandang orang sakti serta begitu
ramah dengan masyarakat.
Disuatu
ketikas tejadi kebakaran di pembakaran keramik, didalam tempat tinggal yang
menyala-nyala dirundung api, tidak ada seseorangpun yang berani menyelamatkan
bayi yang masih tetap ada didalamnya. Dengan tenangnya Syarif Hidayahtullah
masuk untuk menyelamatkan bayi lewat kobaran api yang menyala. Bayi bisa
diselamatkan dengan kondisi fresh bugar, begitu halnya Syarif hidayahtullah,
bajunya tidak terbakar sedikitpun. Masyarakat terkagum-kagum serta dia anggap
orang sakti.
Momen
itu terdengar Kaisar Cina yang jadikan dianya gusar serta geram. Jadi dibuatlah
tipu muslihat, diundanglah Syarif Hidayahtullah ke Istana untuk menebak apakah
putri An Liong Tien betul-betul memiliki kandungan atau tidak. Dikatakannya
oleh Syarif Hidayahtullah kalau putri tuan besar memiliki kandungan. Awal
mulanya Syarif Hidayahtullah juga akan terima hukuman yang berat dari kaisar
karna diperut Putri An Liong Tin hanya satu bantal belaka yang ditempatkan di
dalam perutnya, hingga persis seprti orang memiliki kandungan. Walau demikian
dalam keputren seseorang emban menjerit-jerit kalau Putri An Liong tin
betul-betul memiliki kandungan. Sesudah diliat oleh kaisar benar juga ada.
Syarif hidayahtullah menyelusup keluar dari istana serta kembali pada Cirebon.
Putri
An Liong Tin berpamitan pada ayahnya untuk mencari calon suaminya di Cirebon.
Dalam pertemuannya di gunung jati putri An Liong tin dinikahi oleh Syarif
Hidayahtullah serta di letakkan di daerah Luragung. Putri An Liong Tin di kenal
juga dengan sebutan Ratu Petis, karna suka makan petis.
Saat
Putri An Liong Tin melahirkan, bayi yang baru dilahirkan wafat dunia. Karna
terasa kehilangan, Putri An Liong Tin mengangkat putra Ki Gede Luragung bernama
Arya Kemuning, lalu namanya jadi Adipati Arya Kemuning.
Ketika
memijak umur dewasa, Dipati Arya Kemuning yang sudah ditinggal ibunya meninggal
dunia, pergi ke Gunung Jati untuk ayahandanya Sultan Syarif Hidayahtullah.
Sulatan Syarif Hidayatullah menerimanya dengan sukai hati, lalu Dipati Arya
kemuning ditugaskan untuk mengundang Suryadarma di Indramayu supaya datang ke
Gunung Jati.
Sekembalinya
Arya Kemuning sesudah melakukan amanat ayahandanya, karna kelelahan, Dipati
Arya Kemuning istirahat untuk melepas capek. Di tempat istirahat Dipati Arya
Kemuning tersebut saat ini disebutnya Desa Arjawinangun.
Arjawinangun
terbagi dalam dua kata yakni ARJA serta WINANGUN. Arja berarti bahagia serta
Winangun berarti membuat atau sudah usai melakukan pekerjaan.
ASAL USUL DESA BAKUNG
Dalam
penyamarannya Ki Kuwu Cirebon di Gunung Kumbang, tinggal di blok Ardi Lawet
bergelar Abujangkrek. Disitu Ki Kuwu mempunyai dua orang putra yakni seseorang
lelaki bernama Sela Rasa serta wanita bernama Sela Rasi.
Dijaman
itu Ki Kuwu masuk daerah Telaga, berjumpa dengan seseorang bernama Ki Wanajaya.
Ki Wanajaya di telaga yaitu seseorang yang sakti mandraguna, di Telaga itu
belumlah ada tandingannya. Dalam pertemuannya dengan Ki Kuwu, terjadi selisih
memahami sampai berlangsung perkelahian. Perkelahian dua orang sakti itu
berlangsung lama sekali, semasing mencari kekurangan lawannya. Namun belum juga
seseorangpun yang tunjukkan kekurangan agar bisa dirobohkan salah seseorang
salah satunya.
Disuatu
waktu diserangnya Ki Wanajaya dengan ajian Nini Badong yang bermanfaat
keluarkan udara dingin mengagumkan. Ki kuwu mengarahkan ajian itu begitu pas
tentang sasarannya, Ki Wanajaya jadi tidak berdaya. Ki Kuwu yang mempunyai jiwa
ksatria, lantas menanti lawannya yang tidak berdaya serta tidak berani
menyerangnya hingga mati. Nampaknya Ki Wanajaya sendiri rasakan, perlakuan
lawannya tidak gampang bisa dilawannya. Ki Wanajaya menyerah minta ampun, serta
Ki Kuwu dengan suka hati mengampuninya. Lalu Ki Wanajaya ikuti faham Ki Kuwu
masuk agama Islam.
Karna
pernyataan Ki Wanajaya, Ki Kuwu punya niat baik pada Ki Wanajaya supaya
selanjutnya tetaplah dalam Islam. Disuruhkan pada Ki Wanajaya supaya
memperistri putrinya yang bernama Sela Rasi. Ki Wanajaya memajukan keberatan
berkenaan usianya sudah berjauhan dengan Sela Rasi. Ki Kuwu memberi pengetahuan
pada Ki Wanajaya. Sesudah pengetahuan itu di terima, berubahlah muka Ki
Wanajaya seperti seseorang perjaka. Ki Kuwu menyuruh Ki Wanajaya berkaca ke
permukaan air supaya ketahui perubahan dianya. Tetapi di tempat itu tidak diketemukan
satu balong juga, selekasnya Ki kuwu ditempatnya duduk mencungkil tanah, dari
tanah yang dicungkilnya dipenuhi, timbullah satu balong yang airnya jernih
sekali, Ki Wanajaya selekasnya berkaca di balong itu.
Ki
Wanajaya tersenyum lihat tampangnya seperti perjaka kembali. Ki Kuwu
menerangkan, engkau sudah kuberi Doa Janur Wenda yang sudah engkau hafalkan.
Doa yang sudah engkau baca dipenuhi Allah, serta raut mukamu sudah kembali
seperti perjaka.
Ki
Kuwu tunjukkan ada binatang-binatang kecil yang dimaksud “Remis”, ada
dipinggiran balong yang baru berlangsung itu. Balong ini baiknya dinamakan
Telaga Remis, serta tanah cungkilannya bawalah. Ki Wanajaya menurut pada
semuanya yang disebutkan Ki Kuwu. Ki Wanajaya lalu dijodohkan dengan Nyi Sela
Rasi, di letakkan supaya berdiam di satu daerah yang dinamakan Bakung. Ki
Wanajaya hidup rukun dengan istrinya Nyi Selarasi di Bakung. Tanah cungkilan
Telaga Remis disimpannya disebuah tempat yang dinamakan Tegal Angker. Tanah itu
terdapat di tapal batas blok Pager Toya serta Desa Suranenggala Kulon saat ini.
Disebutkan juga oleh Ki Kuwu nantinya masa datang bila tanah di Tegal Angker
dipertemukan dengan air yang datang dari Telaga Remis, tanah di sana juga akan
jadi subur.
Berdasar
pada narasi itu, pada saat jabatan Kuwu Bakung yang dipegang oleh Muh. Sidik,
amanat itu sudah dibuktikannya. Kuwu Muh. Sidik coba mengupayakan terjadinya
air dari sungai Jamblang bisa menembus hingga ke Tegal Angker. Usahanya dibantu
oleh rakyat setempat peroleh hasil, lebih kurang th. 1970, air dari Telaga
Remis hingga ke Tegal Angker. Yang sudah diamanatkan Ki Kuwu itu dapat
dibuktikan serta membawa hasil, Tegal Angker adalah tanah yang subur.
ASAL USUL DESA GEYONGAN
Histori
desa geyongan dengan tertulis serta akedemis hingga sekarang ini belumlah ada
yang mendiskripsikan/mempelajari, tulisan ini didasarkan atas pinuturan serta
narasi dari orang yang anggap diakui (H. Markina, Wa Mungkar serta Suryadi,
saat ini ketiganya sudah Almarhum) dan bukti- bukti histori peninggalan
kebudayaan sosial ekonomi orang-orang geyongan yang pernah penulis saksikan.
Beberapa tempat yang dipandang jadi asal muasal nenek moyang masyarakat Desa
Geyongan ada di 4 tempat masing -masing Pedukuhan Warakas, Gembur, Mijasem
serta Kidas.
1.
Pedukuhan Warakas.
Bukti
histori kalau semula peradaban desa geyongan bermula dari daerah Warakas,
Warakas itu adalah sisi lokasi dari Desa Geyongan yang saat ini letaknya
samping timur jalan by pass Cirebon - Jakarta samping selatan dukuh Pupusbaya
dekat bersebelahan dengan desa Sende. Dahulu sekitaran pertengahan era 18-an
(17... M) di daerah Warakas ada satu komune santri (Pesantren) tidak di ketahui
siapa pimpinan pesantrennya, makin lama komune itu berkembang jadi pesantren
yang ramai karna beberapa orang yang menuntut pengetahuan (mengaji serta
pengetahuan agama).
Disuatu
saat di jalan (saat ini jalan by pass) berlangsung momen pembegalan/perampokan
yang menyebabkan pembunuhan. Mulai sejak momen itu kehidupan di komune warakas
terganggu karna pihak Pemerintah Kolonial Belanda menuduh kalau aktor
perampokan itu yaitu masyarakat Warakas bahkan juga pihak kolonial Belada
lakukan penindasan serta intimidasi pada masyarakat.
Untuk
untuk hindari fitnah serta tuduhan pihak kolonial dan beberapa hal tidak
dikehendaki, jadi komune Warakas beralih tempat yakni ke arah barat persisnya
di tepian/bantaran Sungai Winong (Kali Wetan kata orang Geyongan) yang dahulu
di kenal Pesantren Wetan itu. Bukti histori di Warakas ada komune hingga
sekarang ini masih tetap ada sisa peningalannya berbentuk kuburan, demikian
halnya yang berada di bantaran Kali Wetan juga ada sisa peninggalannya. Sesudah
dibuatnya kali irigasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada th. 1901
(implikasi dari politik balas budi Belanda : Educasi, irigasi serta transmigrasi),
jadi dengan makin lama makin masyarakat pesantren wetan yang ada bantaran
sungai winong/kali wetan beralih ke tempat yang baru yang saat ini kita kenal
dengan Jatilawang serta ada pula yang geser ke sebagian tempat di pedukuhan
Geyongan.
2.
Pedukuhan Gembur, Mijasem serta Kidas.
Sepertihalnya
pedukuhan warakas, di pedukukan Gembur juga dulunya ada komune serta pada
akhirnya kosong karna penduduknya pidah ke Desa Geyongan yang mungkin saja
tanahnya lebih subur atau karna banyak penduduknya pindahan dari pedukuhan
sekelilingnya. Pedukuhan gembur terdapat disamping selatan Ds. Geyongan saat
ini dekat blok Pace.
Demikian
juga pedukuhan Mijasem penduduknya banyak yang geser mungkin saja ke desa
geyongan atau ke arjawinangun, jejak peninggalan pedukuhan mijasem masih tetap
bisa diliat hingga saat ini berbentuk kuburan. Letak dari pedukuhan Mijasem
saat ini masuk dalam desa Kebonturi dekat dengan Gedung Bioskop Pahala. Serta
untuk pedukuhan Kidas saat ini terdapat di desa Kebonturi di blok Kidas,
pedukuhan ini ditinggalkan penduduknya pindah ke desa Geyongan peninggalan yang
masih tetap bisa diliat berbentuk makam serta belik.
Dengan
makin banyak masyarakat dari pedukuhan yang beralih ke Geyongan makin ramai
serta berkembanglah Desa Geyongan sampai sekarang ini, tengah pedukuhan makin
ditinggal pergi penduduknya. Sesudah penduduknya makin ramai jadi ditunjuklah
seseorang pemimpin atau yang kita kenal Kuwu (Kepala Desa).
Tak
ada cacatan yang tentu kapan geyongan itu berdiri jadi Desa, berdasar pada
catatan silsilah Kuwu di desa Geyongan Kuwu pertama yang memimpin Desa Geyongan
yaitu Ki Pandu sekitaran pertengahan era 19 (1850 M), dengan kedudukan desanya
bila saat ini berada di Tanahnya Man Wiat (Kakeknya Saki), satu tahun lebih
lalu geser ke Tanahnya Man Jupri (Bapaknya Majaji) serta pada Th. 1923 geser ke
Balai Desa yang saat ini dipakai, saat itu Kuwunya Ayah Wasura Dipraja. Kondisi
balai desa Geyongan saat ini keadaan masih tetap begitu baik hanya ada
menambahkan sedikit yakni pendopo serta jendela kaca.
ASAL
USUL DESA GALAGAMBA
Pada
sekitaran th. 1400-an disebuah kaki Gunung Kromong. Ada satu rimba belantara
yang banyak ditempati oleh beberapa dedemit serta beragam binatang yang buas
seperti macan, celeng dsb.
Disuatu
tempat yang dimaksud Rajagaluh ada Kasatria bernama Kiwinata yang memiliki
tubuh yang tegap serta penuh dengan sopan santun dan begitu sakti. Ki Winata
lalu membuat satu gubug serta dijadikannya jadi rumah, bukan sekedar itu beliau
juga buat balai dari kayu jati yang begitu besar sekali untuk tempat menjamu
tamu. Makin hari tempat itu jadi begitu populer, lalu makin ramai. Ramainya
tempat itu pada akhirnya mengundang perhatian serta Raja Pajajaran yang bernama
Prabu Siliwangi. Pada akhirnya Raja Prabu Siliwangi itu datan dengan rombongan
untuk berkunjung ke tempat itu. Saat tiba di tempat itu jadi diterimalah sang
raja.
Prabu
Siliwangi begitu terkagum dengan satu diantara balai yang besar itu. Prabu
Siliwangi lalu ajukan pertanyaan pada Ki Winata apa nama pedukuhan itu? Jadi
dijawab oleh Ki Winata bila pedukuhan itu belum juga dinamakan. Jadi lalu Sang
Prabu berikan nama pedukuhan itu dengan nama “ GALAGAMBA ”. Gala berarti Balai
sedang Amba yaitu luas jadi “ GALAGAMBA ” Ini berarti Balai yang luas atau
besar.
Selepas
kepergian sang prabu, Ki Winata wafat dunia, yang lalu dikuburkan disuatu
tempat yang bernama Raga Sawangan. Raga Sawangan dulunya saat orang-orang
menebang jati jadi esok harinya jati itu tumbuh kembali. Jadi Ki Winata terasa
bertanggungjawab untuk bersihkan problem itu yang lalu menghadap Sunan Jati
Purba.
Jadi
sang Sunan serta Ki Winata berencana untuk menebang pohon itu dengan mulai
berdoa. Jadi dalam pandangan mata bathin beliau jadi diliatnya ada raga yang
bertumpu dipohon itu. Jadi sesudah raga itu diusir jadi pohon itu bisa ditebang
hingga tempat itu di kenal dengan “ RAGA SAWANGAN ”.
Bukan
sekedar di Blok Ragasawangan, di Blok Dukumire ada yang dimaksud dengan
terdapatnya Pustaka Lawang Gada yang beberapa orang bisa memohon barokahnya.
Serta satu diantara sebagai populer yaitu di Blok Nagrog dengan terdapatnya
Harimau Siliwangi Putih yang sekarang ini masih tetap diakui serta masih tetap
selalu berkeliling-keliling selama makam kompleks Masjid Al-Ikhlas yang pertama
kalinya dibuat oleh Almukaromah Kiai Marjuki sekitaran th. 1800-an. Jadi satu
diantara sesepuh beberapa Kiai yang berada di Babakan serta Kempek. Yang lalu
dipugar dengan bentuk moderen oleh Kiai Tarmidi pada th. 1930-an yang saat itu
pada saat Jepang menjabat jadi Kepala Kantor Agama Lokasi Cirebon yang membawahi
Kuningan, Majalengka serta Indramayu.
ASAL USUL DESA KALIWEDI
Ki
Surya angkasa yaitu Putera dari istri selir Prabusiliwangi yang datang merantau
dari Garit (pajajaran) untuk mencari saudaranya Walang sungusang (Ki Kuwu
Sangkan) serta Nyimas Lara Santang tengah menuntut pengetahuan di Cirebon saat
berkunjung di Astanya Pura, Ia memperoleh pengetahuan aji “Bandung Bandawoso”
lalu menuju lokasi rimba yang didalamnya ada satu sungai yang penuh dengan
pasir disamping barat laut untuk babat rimba serta jadikan “KALIWEDI”. “Kali”
berarti satu sungai, “Wedi” dalam bhs jawa pasir. Ia lalu di kenal dengan nama
Ki GEDE kaliwedi.
Diisamping Titel KI Gede Kaliwedi Ki Surya
Angkasa banyak mempunyai titel serta julukan, konon ia memiliki sebutan sampai
101 nama seperti Ki Tulus, Ki Jopak, Ki Agus, Ki Syeh mangku jati oleh karna ia
saudara paling tua. Ki Kuwu Sangken jika membuat “Hajat Ngunjungan” senantiasa
lebih dulu. Dengan diawali Astana Gunung Jati saat dalam perjalanan menunaikan
beribadah Haji ke Mekah dengan menaiki “Mancung”. Ki Sureya Angkasa memperoleh
serangan raksasa ombak selon dengan memakai “Bedama Pusaka” (jimat). Tombak
sigagak tutuskan tombak itu ke perut raksasa sampai mati serta tombaknya
tetaplah maenancap dipperut raksasa, sedang warangkahnya (sarungnya) bisa
dibawa pulang sampai saat ini.
Sebelumnya mati raksasa ombak selon itu
sesambar juga akan membalas dendamterhadap keturunan Ki Surya Ankasa yang
menunaikan beribadah haji lewat jalan laut serta melalui ombak selon, oleh
karenanya beberapa orang Kaliwedi pantang menunuaikan beribadah haiji melalui
dalan laut. Tetapi mulai sejak pemerintahan memakai angkutan jasa angkutan
udara orang-orang Kaliwedi banyak yang menunaikan beribadah haji. Sesudah
pertarungan yang melelahkan itu Ki Surya menerusakan perjalanannya untuk
menunaikan beribadah haji di Mekah. Sekembalinya dari Mekah, Ia memperoleh
titel Syah Mangkujati sesudah perjalanan ke Desa takut pernah lihat Putri
Heuleut uang tengah mandi dikolam tanpa ada sehelai benang juga yang tampak di
badannya. Lihat kondisi dedmikian timbullah dibirahi Ki Surya Angkasa oleh
karenanya Ia sorang sakti mandraguna nafsu birahinya bisa di rendam, tetapi
karena birahinya itu Putri takujt mejadi hamil makin lama kandungan sang
heuleut jadi membesar sampai lahirnya seseorang anak lelaki. Rasa malu juga
menekuni diri sang putri. Saat ini memiliki anak tidak berayah untuk
menyingkirkan rasa malu itu dengan penuh haru. Anak yang baru dilahirkannya
dibuang ke sungai Ciwaringin.
Disebuah Desa (saat ini di Desa Gegesik Kulon)
sorang wanita saat tengah jadi ikan disungai Ciwaringin ini peempuan yang
bernama Nyimas Cupang itu mendadak dikejutkan dengan benda terapung (kambang)
yang lewat di hadapandan makin kaget sesudah benda itu didalamnya diisi
seseorang bayi lelaki yang masih tetap merah. Bayi merah yang lalu dinamakan
Limbang berarti diketemukan di kali serta kambang itu dibawanya ppulang serta
dirawat sebaik-baiknya jadi anugerah yang kuasa. Saat ini sudah cukup lama ia
tinggal eorang diri sesudah ditinggal oleh suaminya.
ASAL DESA GUWA, CIREBON
Ki
Baluran yang dimaksud Ki Arga Suta atau Syeh Madunjaya yaitu salah seseorang
putra Pangeran Gesang, demang dari kesultanan Cirebon. Dalam pembagian tanah
cakrahan punya orang tuannya yang terdapat di samping utara perbatasan lokasi
Cirebon serta Indramayu, berlangsung pertentangan pendapat dengan ke-3
saudaranya terlebih dengan adiknya Nyi Mertasari. Ke-2 saudara lelaki termasuk
juga dianya memiliki pendapat kalau anak wanita cukup memperoleh sisi tanah
sebesar payung. Pendirian itu ditentang Nyi Mertasari, karna menurut dia
pembagian tanah mesti sama luas.
Untuk
merampungkan perselisihan itu, Ki Kutub (Sunan Gunung Jati) mengurusi Ki
Panunggulan yang ambil kebijakan dengan membuat sayembara yang di setujui
beberapa putra Pangeran Gesang. “Barang siapa diantara mereka bisa menghadirkan
beberapa jenis hewan seisi rimba, jadi tanah cakrahan ayahnya jadi
kepunyaannya. “Secara berturut-turut ke-4 putra Pangeran Gesang itu keluarkan
kesaktiannya dari mulai Ki Jagabaya, Ki Sumerang, Ki Baluran, serta paling
akhir Nyi Mertasari.
Sebelumnya
diawali adu kesaktian, Ki Baluran bersumpah akan tidak berperang serta mengadu
kesaktian dengan siapa juga, pada saat tidak umum menandingi kesaktian Nyi
Mertasari. Ki Baluran keluarkan kesaktian dengan menancapkan tongkat diatas
tanah, serta tongkat itu menjelma jadi ular yang memiliki bentuk seperti
kendang sampai diberi nama ular kendang. Nyi Mertasari memberikan tangannya ke
kiri dank e kanan serta mengatakan beberapa jenis hewan seisi rimba, jadi
berdatanganlah hewan-hewan yang disebutnya itu.
Sayembara
pada akhirnya dimenangkan Nyi Mertasari, jadi sesuai sama bunyi sayembara semua
tanah cakrahan jadi punya Nyi Mertasari. Tetapi karena musyawarah yang
ditengahi Ki Warsiki serta atas restu ki Kutub, tanah cakrahan itu dibagi-bagi
pada putra-putri Ki Gesang, di nama yang memastikan letak serta luas pembagian
tanah yaitu Nyi Mertasari.
Ki
Baluran memperoleh sisi tanah di samping barat. Awalilah Ki Baluran membabad
rimba lewat cara membakarnya, jadi dengan dalam waktu relatif cepat rimba jadi
lautan api, bahkan juga percikan apinya hingga ke pinggir pantai lokasi
Indramayu, persisnya di daerah Eretan, hingga rimba di daerah itu beberapa ikit
terbakar. Tempat tanah sisa pembakaran itu disadari orang-orang termasuk juga
tanah cakrahan Ki Baluran.
Ki
Baluran membuat pendukuhan serta hidup rukun damai bersama orang-orangnya.
Disuatu saat datanglah ke pedukuhannya segerombolan perampok yang punya maksud
menyatroni daerah itu. Oleh karna sumpahnya, Ki Baluran tidak ingin melayani
beberapa perampok, terlebih menghindar pergi bersama keluarganya di satu tempat
yang nantinya dimaksud Desa Guwa, tanah yang dilewati Ki Baluran bersama
keluarganya mendadak membelah (terbuka) serta tutup/membuat perlindungan Ki
Baluran bersama keluarganya, seperti bersembunyi didalam gua.
Keluar
dari gua, Ki Baluran dikejar sekali lagi tetapi selalu menghindar kea rah utara
sampai masuk lokasi Indramayu. Ia berteduh dibawah pohon asem, oleh karenanya
tempat itu diberi nama Pondokasem.
Gerombolan
pembegal masih tetap penasaran menginginkan bertanding dengan Ki Baluran,
tetapi Ki Baluran tetaplah hindari lantas dengan keluarganya pergi menuju barat
di sana ia hidup rukun, damai serta sejahtera menjumpai ketenangan. Tempat itu
lantas dimakamkan Temuireng (ketemu pareng/temukan suatu hal yang di
kehendaki).
Saat
musim paceklik tiba, beberapa orang yang juga akan pergi ke Pasar Darsen
seringkali lihat seseorang tua yang tidak ada beda Ki Baluran ada di satu gubug
seperti tengah kelaparan. Oleh karna terasa iba, tiap-tiap pergi ke pasar
mereka memberi jagung untuk makan, hingga lama kelamaan daerah itu populer
dengan nama Tulungagung (di”tulung”dengan “jagung”).
Terasa
tidak enak jadi beban orang yang lain, Ki Baluran pergi menuju ke arah selatan
wilaya Cirebon serta berhenti di pedukuhan Bunder. Ia membuat sebidang
tanah/sawah serta bercocok tanam, juga buat sumur untuk sumber penghidupan.
Sesudah tinggal di Bunder, Ki Baluran selalu memonitor kondisi Guwa daerah
aslinya, dengan mempergunakan tongkat yang menjelma jadi ular kendang.
Pada
jaman penjajahan Belanda, Desa Guwa juga tidak luput dari serangan tentara
Belanda serta sekutunya. Orang-orang Guwa semuanya melarikan diri melalui
sungai (kali) yang airnya tengah meluap banjir. Ketika itu ular kendang punya
Ki Baluran menjelma jadi WOT (jembatan) untuk nambak air banjir. Tempat itu
populer dengan sebutasan Tambakwot, serta sampai saat ini walau air sungai
meluap, airnya tidak sempat masuk ke pekarangan masyarakat.
Sesudah
Desa Guwa kosong ditinggal penduduknya, Ki Gede Balerante mengutus anaknya Ki
Sumbang untuk menepati Guwa Keasaan itu buat Ki Baluran tetaplah tinggal di
Desa Bunder, tidak kembali pada Desa Guwa. Mendekati akhir hayatnya, Ki Baluran
tinggal di kaliwedi. Dengan hal tersebut gingga saat ini sebagaian keturunannya
ada di Kaliwedi, sedang masyarakat Desa Guwa yaitu keturunan Ki Sumbang. Desa
Guwa dimekarkan pada th. 1982 jadi dua desa yaitu Desa Guwa Kidul serta Desa
Guwa Lor.
ASAL
USUL DESA GINTUNG TENGAH
Saat
beberapa besar daerah Cirebon masih tetap tertutup rimba belantara, serta
ajaran Hindu masih tetap diyakini oleh beberapa masyarakat Cirebon. Jadi ketika
itu pulalah Mbah Kuwu Cirebon dengan dibantu rekan serta kerabatnya semangat
menebarkan ajaran Islam. Sembari menebarkan agama tidak lupa juga membabat
rimba serta buka pedukuhan-pedukuhan baru.
Tersebutlah
nama Kyai Ageng Buyut Membah, seorang dari Negeri Iraq, yang datang ke
Indonesia karna diutus oleh ayahandanya untuk menebarkan Agama Islam serta
melakukan perbaikan akhlaq dan aqidah Bangsa Indonesia terutama didaerah Cirebon.
Kyai
Ageng Buyut Membah, diutus oleh ayahandanya tidak segera datang ke Tataran
Cirebon, tetapi ke Pesantren Sunan Muria, serta ia berguru di sana. Dipesantren
itu Kyai Ageng Buyut Membah berteman serta bersahabat dengan keturunan Sunan
Muria yang bernama Raden Jaka Pendil. Dipesantren tersebut Kyai Ageng Buyut
Membah memperoleh nama baru yakni Raden Suminta.
Teringat
juga akan pesan ayahandanya yakni untuk menebarkan Agama Islam serta untuk
melakukan perbaikan akhlaq dan moral masyarakat didaerah Cirebon yang porak
poranda karna pertentangan Agama Hindu Budha dengan Agama Islam yang di ajarkan
oleh Mbah Kuwu Cirebon serta kawan-kawan. Kyai Ageng Buyut Membah minta izin
pada gurunya untuk pergi kedaerah Cirebon.
Dengan
Raden Jaka Pendil, Kyai Ageng Buyut Membah pergi kedaerah Cirebon. Sebelumnya
mereka berdua pergi, Sunan Muria berikan pesan supaya keduanya dalam
perjalanan, ataupun sesampainya ditujuan supaya tetaplah ngaji Sufi (Pewalian)
yang ada enam jenis yaitu seperti berikut : Diam, Janganlah sombong, Janganlah
ugal-ugalan, Membuat perlindungan orang yang lemah, Perbanyak membaca
Al-Qur’an, Janganlah bicara asal-asalan, serta mesti menirukan perilaku Sunan
Muria yg tidak sempat batal wudlu.
Dalam
perjalanan mereka berjumpa dengan Raden Jagalah Bodoh (Raden Suralaya) yang
tengah diutus oleh ayahandanya yakni Sunan Gunung Jati untuk membabat Alas
Roban. Tetapi tempat pertemuan itu saat ini wallahu a’lam atau hilang ditelan
jaman. Lalu mereka bersama meneruskan perjalanan.
Pada
th. 1545 M mereka mulai membabat rimba disamping barat Cirebon. Ketika itu
Raden Jaka Pendil tengah mengamalkan doa Kanzil ‘Arasy, dari do’a itu menjelma
satu pusaka kayu yang berwujud keris, kayu itu bernama Kayu Karas (yang lalu
populer dengan sebutan ki Arasy). Di dalam pusaka Kayu Karas barusan ada qodam
berbentuk jin muslimah serta berwujud seseorang wanita. Wanita ini dinamakan
Larasati (lalu terkanal dengan sebutan Nyi Arasy).
Disamping
itu Kyai Ageng Buyut Membah (Raden Suminta) memiliki pusaka Weling Barong, wujudnya
tongkat berkepala naga, yang qodamnya diisi macan putih yang dinamakan si
Bujang, Ular Buntung, juga mempunyai agem-agem merah delima, zamrud unjaman
serta burung banjar petung yang qodamnya ada di telaga midang di Desa Bringin
dan memiliki peliharaan berbentuk macan Blewuk. Kyai Ageng Buyut Membah, Raden
Jaka Pendil serta Raden Jagalah bodoh bersama membabat rimba, kayu-kayu yang
bergelimpangan serta semak-semak kering dibakar sampai kobaran api menyebar
kemana saja.
Setelah
rimba di tebang mereka mengatur tempat baru itu, termasuk juga buat sumur
Pendawa. Nama pendawa hanya jadi kiasan belaka tak ada hubungan dengan pendawa
lima. Lalu beberapa orang berdatangan turut tinggal didaerah baru itu, termasuk
juga Ki Buyut Ipah serta Ki Buyut Rinten yang masih tetap bersaudara dari Kyai
Ageng Buyut Membah dan datang turut tinggal tinggal didaerah yang baru itu.
Pedukuhan
terjadi Kyai Ageng Buyut Membahlah yang jadi pemimpin, baik pemimpin agama
ataupun pemerintahan. Jadi makin berkembang ajaran islam sesudah kehadiran Kyai
Sembung (Kyai Somadullah) datang menolong.
Kyai
Sembung yaitu seseorang tamu Kyai Ageng Buyut Membah yang datang dari desa Luga
Lugina dari negara Syam (Syiria) untuk menebarkan agama islam. Karna ketika itu
kondisi akhlak serta moral masih tetap terlantar.
Disebuah
tempat ada satu pohon teduh yang bunganya berbau harum, masyarakat pedukuhan
baru itu banyak serta seringkali memakai bunga harum itu untuk acara kendurian
umpamanya : acara pernikahan, khitanan, nujuh bln. serta acara-acara yang lain.
Awal
terjadinya pedukuhan baru itu, hingga saat ini di kenal dengan sebutan Bentuk,
serta pohon yang dipakai bunganya oleh orang-orang barusan dinamakan POHON
GINTUNG. Arti Gintung bisa disimpulkan seperti berikut : Gi=girang (sukai,
riang-gembira), In=Ingsun (saya), Tung=tungkul (kerasan betah), jadi Gintung
berarti Girang Ingsun Tungkul (saya suka serta kerasan di daerah baru) serta
dari nama pohon berikut diabadikan jadi nama DESA GINTUNG, yakni pada th. 1554
M.
Setelah
itu dibuatlah satu tempat pemerintahan baru yang ada ditengahnya dari pedukuhan
itu, dinamakan dusun atau DESA GINTUNG TENGAH. Dengan Kyai Ageng Buyut Membah
jadi pemimpin/kuwu, serta hingga saat ini ada daerah yang masih tetap memakai
arti membah yaitu membah lor serta membah kidul yakni daerah desa yang jadikan
tanah desa (bengkok serta titisarah).
Sesudah
pedukuhan baru terjadi, beberapa alur kehidupan diatur serta penebaran agama
islampun berkembang. Kyai Sembung, Raden Jaka Pendil serta Raden Jagalah Bodoh
tidak tinggal di desa Gintung Tengah tetapi kembali kedaerah aslinya Negara
Syiria. Satu diantara masa lalu untuk diingat anak cucu Gintung Tengah yaitu
Kyai Sembung bisa menahan petir supaya warga Gintung Tengah terlepas dari
serangan petir.
Dalam
perubahannya, Pohon Gintung itu bunganya makin banyak yang memerlukan oleh
karenanya Kyai Ageng Buyut Membah menanam pohon gintung disamping kidul (Cikal
akan desa Gintung Kidul), serta disamping lor (Cikal akan desa Gintung Lor).
Supaya masyarakat terasa lebih dekat untuk ambil bunga pohon gintung itu.
Makin
lama pedukuhan Gintung Tengah penduduknya semakin tambah serta wilayahnya
dibagi jadi sebagian blok yakni : Blok Bentuk yang mencakup pendawa, Blok
Pesantren, Blok Desa, Blok Sumur bata
Mengenai
tanah-tanah yang ada di luar Desa Gintung tengah seperti tapak bima yang ada di
Desa Gintung Kidul, blok sepat (putat) yang ada di Dukumire Desa Galagamba,
tanah Silado di Desa Bakung, yaitu tanah-tanah yang didapat dari babat rimba
sewaktu istirahat sembari melihat hasil babat beberapa rimba barusan.
Hingga
saat ini masih tetap ada beberapa tempat yang dipandang sakral/kramat oleh desa
Gintung Tengah yaitu sumur pendawa serta sumur bata. Keduanya yaitu tempat yang
katiban gaman/pusaka keris Kyai Ageng Buyut Membah ke-2 tempat itu bisa buat
siapapun yang ada dekat dengan sumur itu juga akan terasa tenang, kerasan serta
nyaman.
Jika
keturunanku (warga Gintung Tengah) mempunyai problem lahir serta batin Kyai
Ageng Buyut Membah menyarankan untuk mengamalkan do’a Kanjil Arays lalu mandi
di antara dua sumur itu serta jika menginginkan memiliki keunggulan beda
(ekonomi serta yang lain) disarankan untuk keluar/merantau dari Desa Gintung
Tengah ini, karna tidak semuanya keperluan hidup tidak semuanya ada di sini.
Sedang
sumur Kroya serta sumur buk cuma adalah kias atau simbol yang berpungsi untuk
peristirahatan beberapa petani sembari berdiskusi mengenai pertanian serta yang
lain.
Kyai
Ageng Buyut Membah memiliki seseorang istri dari keturunan Kerajaan Galuh
Pakuan serta dikaruniai sebagian orang anak (yang keberadaanya tidak bisa
dikisahkan). Karna usianya Kyai Ageng Buyut Membah tidak pernah memiliki
seseorang murid. Pada hari rabu tanggal 12 Rajab 1154 H/1725 M Beliau meninggal
dunia serta dimakamkan di Blok Pendawa, hingga pemerintahan desa di turunkan
pada orang yang lain.
Searah
dengan perubahan pedukuhan Gintung Tengah serta sepeninggalanya beberapa
penerus serta pengganti Kyai Ageng Buyut Membah, Desa Gintung Tengah sempat di
pimpin oleh Kuwu Giwang, karna kuwu Giwang tidak dapat mendengar/budeg, jadi
populer dengan sebutan Kuwu budeg, hingga tanah-tanah yang ada di luar Desa
Gintung Tengah disuruh oleh semasing pemerintah desa setempat.
ASAL
USUL DESA BRINGIN
Desa
Bringin yaitu satu diantara desa dalam lokasi kecamatan Ciwaringin, kabupaten
daerah tingka II Cirebon Luas lokasi desa Bringin 226, 478 Ha. Dengan mata
pencaharian masyarakat sebagian besar petani, serta beragama islam.
Konon,
sesudah perang kedongdong selesai, 40 orang Ki Gede yang turut berperang juga
akan kembali pada tempat asal semasing. Dalam perjalanan pulang mereka
beristirahat. Mereka bernaung dibawah pohon bringin yang teduh, serta karna
kelelahan mereka tertidur dengan lelapnya. Saat mereka bangun, ada aura tanpa
ada ujud yang menyebutkan kalau orang yang datang ke tempat itu dimaksud KI
Gede Bringin. Orang yang pertama datang yaitu Ki Gede Srangin dikenal dengan
sebutan Ki Gede Bringin.
Sesudah
bangun dari tempat tidur itu, keempat puluh Ki Gede terasa haus serta
menginginkan minum. Mereka juga akan mencari air untuk minum tetapi dicegah
oleh Ki Gede Srangin, lalu ki Gede Serangin menancapkan golok jimatnya yang
bernama bandawasa ke tanah. Dari tancapan golok bandawasa, tanah itu keluar
air. Mereka minum untuk menyingkirkan dahaganya. Tempat keluar air itu pada
akhirnya jadi satu sumur yang dimaksud “sumur kedokan wungu”
•
Kedokan berarti telaga
•
Wungu berarti bangunan (tangi – Bhs. Jawa), yakni beberapa Ki Gede bangun dari
tidurnya.
Sumur
kedokan wungu terdapat di samping utara desa bringin yang saat ini, ± 100 mtr.,
didalam sumur itu dulunya ada belut putih, ikan gabus pitak, ikan lele yang
cuma ada kepalanya serta duri dan ekornya saja (tidak ada dagingnya), serta
terkadang keluar bulus putih yang tuturnya bulus itu datang dari Telaga Remis
Cikarang,
Keempat
puluh Ki Gede, yakni Ki Gede Srangin bersama kawan-kawannya pergi ke Kedongdong
untuk buat batas tanah. Batas tanah itu pada akhirnya dimaksud Rajeg
Kedongdong, yang saat ini membatasi lokasi Kabupaten Cirebon, Kabupaten
Majalengka, serta Kabupaten Indramayu.
Kemudian
Ki Gede Bringin mengubur jimatnya yang bernama golok Bandawasa di Kedongdong,
tempat itu saat ini dimaksud Ki Buyut Bandawasa. Lalu ki Gede Srangin kembali
pada tempat Sumur Kedokan Wungu serta di sana membuat padukuhan. Padukuhan itu
saat ini yaitu Desa Bringin.
ASAL
USUL DESA SUSUKAN
Asal
mula Desa Susukan itu yaitu di blok Reca yang saat ini tanahnya telah jadi
pesawahan. Karna ikuti jejak Ki Gersik yang pada saat itu jadi guru agama Islam
jadi beralih tempat disuatu blok yakni blok Wana Iman yang saat ini dimaksud
blok Pamijen.
Mengenai
Ki Gresik nama aslinya adalah Kiyai Hasan Madari serta bisa julukan dari
Cirebon yakni PANGERAN SELINGSINGAN (asal dari Gresik Surabaya) serta jejaknya
dikuburkan dipekuburan Wana Iman.
Mengenai
kata Susukan berlangsung pada saat Ki Gresik buat perkampungan Pamijen dari
rimba Iman mengatur/menggali buat saluran air gempol yang mengalir dari blok
Girang.
Mengenai
yang pertama kalinya buka tanah yaitu seseorang wanita yang bernama Ny. Tosa
lewat cara membakar rimba diawali dari blok Pamijen dengan pertolongan
seseorang Punakawan yang bernama Ki Angger Esa hingga menjalarnya api itu
meluas hingga ke selatan yakni di desa Nunuk yang disebut sisi daerah
Majalengka (saat ini desa Garawangi).
Menurut
cerita orangtua dahulu, pekuburan Nyi Tosa itu berada di daerah Garawangi
mengenai yang di daerah Susukan cuma selendangnya saja.
Pada
saat itu berlangsung peperangan dengan Ratu Galuh, pahlawanya bernama Pati
Sumijang hingga ratu Galuh tertekan kalah, putri serta anak ratunya bisa
ditahan serta di bawa ke Cirebon.
Tahanan
di angkut ke Cirebon oleh Ki Pati Suro serta tempat saat ini itu bernama desa
Tegalgubug, di buat kemah untuk istirahat hingga diselenggarakan hubungan
perkawinan tidak resmi pada putri Galuh dengan Ki Pati Suro karna maklum pada
lelaki serta wanita. Ahirnya melapor ke Cirebon kalau tahanan itu tidak layak
untuk di menjadikan selir, tetapi agar dipandang jadi tawanan yg tidak
bermanfaat.
Jadi
oleh karenanya Ki Pati Sumijang mendengar momen itu kemudia melapor ke Cirebon
kalau Ki Pati Suro berbohong serta saat itu juga memperoleh julukan Ki Pati
Rusuh.
Lalu
diselenggarakan perang tanding pada Ki Pati Sumijang dengan Ki Pati Suro berada
di saluran air perbatasan pada desa Susukan dengan desa Tegalgubug, hingga
berlangsung perkelahian yang maha dasyat.
Pada
saat itu Ki Pati Sumijang bisa kuasai peperangan itu hingga Ki Pati Suro bisa
terpukul mundur serta lari terpontang panting hingga kakinya terinjak binatang
kiong hingga tumitnya bengkak.
Nah…..
jadu untuk sinyal atau tanda-tanda yang husus, kalau orang Tegalgubug yang asli
itu tentu tumitnya besar.
Mengenai
kramat Ki Gresik sesudah meninggal dunia, berlangsung di mana saat perang
berandal di desa Kedongdong yang diketuai oleh Ki Bagus serit melawan kompeni
tentara Belanda, saat ada orang Susukan yang bernama Ki Remang yang ketahui
kondisi di Kedongdong yang terjerat berjumpa dengan Tuan Jonas lalu terserang
pukulan di bagian kepalanya. Oleh karenanya Ki Remang lari pulang serta masuk ke
pemakaman Ki Gresik sembari menahan rasa sakitnya, namun apa akan dikata oleh
karna sakitnya itu agak berat jadi Ki Remang itu tidak tahan sekali lagi
menahanya serta ahirnya ia wafat juga di pemakaman Ki Gresik.
Tuan
Jonas tidak mampu melanjutkan pencegatan di sebabkan karna takut lihat ular
besar di pemakaman Ki Gresik, hingga Tuan Jonas kembali sekali lagi ke tempat
aslinya.
ASAL USUL DESA TEGAL GUBUG
Sesudah
perang pada Kerajaan Telaga (kerajaan cikijing, majalengka) serta Kerajaan
Galuh (kerajaan Jatiwangi, majalengka) melawan kesultanan Cirebon, kerajaan
Telaga serta Galuh bisa ditaklukan, pada akhirnya orang-orang Telaga memeluk
Islam
Lalu
Sunan Gunung Jati dalam penyiaran Agama Islam di Negeri Talaga serta Galuh
mengutus sebagian orang Gegeden yang mempunyai banyak pengetahuan serta
kesaktian tingggi, untuk memberi pengawasan pada tanah taklukan kesultanan
Cirebon, kerana masih tetap ada pepatih yang masih tetap belum juga memeluk
Agama Islam. Di antara Gegede yang diutus itu yaitu Syaikh Suropati/Ki Suro.
Seseorang Gegede yang populer sakti mandraguna yang datang dari Negeri Arab
(sumber beda menyebutkan dari Mesir serta Baghdad). Yang nama aslinya yakni
Syaikh Muhyiddin Waliyullah/Syaikh Abdurrahman, yang telah dua th. tinggal di
keraton Cirebon, sabagai santi (murid) Sunan Gunung Jati, lantas sesudah
dipandang cukup ilmunya oleh Sunan Gunung Jati beliau diutus untuk menolong
menebarkan Ajaran Islam keseluruh pelosok masyarakat Jawa Barat, dalam
perjalanan penebaran Ajaran Islam banyak memperoleh respon baik dari rakyat,
tetapi seringkali juga halangan yang dihadapinya, beliau mesti berlaga melawan
penggedean pedukuhan itu. Tetapi karena kesaktian ilmuny ayng mandraguna mereka
bisa ditaklukan serta mereka ingin memeluk Agama Islam.
Lantas
atas jasa serta pengetahuan kesaktianya, Syaikh Muhyiddin diangkat oleh Sunan
Gunung Jati jadi pepatih favorit/panglima tinggi (pengawal Sunan) dinegeri
Cirebon dengan titel Ki Gede Suropati. Sesudah pemberian titel itu Kanjeng
Sunan memerintahkan Ki Suro bertandak ke pondok Ki Pancawal (seorng pembesar
kerajaan talaga) untuk membawakan kitab suci Al-quran yang sejumlah banyak
ditujukan jadi dasar di Negeri Talaga serta Galuh. Tetapi ditengah jalan
perjalanan menuju negeri Talaga Ki Suro menjumpai adegan sayembara
memperebutkan seseorang putrid cantik, siapa saja yang dapat menaklukkan Ki
Wadaksi (pembesar kerajaan talaga) juga akan dijodohkan/dikawinkan dengan
putrinya yang bernama Nyi Mas Wedara, lantas Ki Suro turut dalam sayembara itu
Ki Suro cuma menginginkan ketahui pengetahuan yang dipunyai oleh Ki Wadaksi,
akhir Ki Suro bisa menaklukkan Ki Wadaksi serta lalu memeluk Agama Islam
bersama muridnya. Tapi Ki Suro tidak menikah dengan Nyi Mas Wedara, tetapi
Putri Ki Wadaksi itu jadi diserahkan pada Raden Palayasa yang sebelunnya mereka
sama-sama menyukai.
Lalu
Ki Suro dibawa oleh Ki Pancawala di pondoknya, serta dijamunya dengan jamuan
istimewa sembari menyerakan kitab suci Al-quran. Dengan suka hati Ki Pancawala
didatangi Ki Suro, tetapi dalam jamuan itu Ki Suro kagum lihat putri Ki
Pancawala yang bernama Nyi Mas Ratu Antra Wulan, dalam hati Ki Suro miliki
keninginan untuk membuatnya pendamping hidupnya. Tetapi sebelumnya Ki Suro
menyebutkan hasratnya untuk meminang Nyi Mas Ratu Antra Wulan, Ki Pancawala
telah menyebutkan kalau putrinya juga akan diserahkan pada Sunan Gunung Jati
yang diinginkan jadi Istrinya, serta Ki Suro bersedia untuk mengatarkanya ke
keraton Cirebon.
Dalam
perjalanan menuju keraton Cirebon, sangat panjang dari masuk serta keluar rimba
hingga naik serta turun gunung. Dalam satu perjalanan mereka merasakan satu
Gubug kecil ditengahnya rimba belantara, Ki Suro memohon beristiharat sebentar
untuk menyingkirkan rasa letihnya. Kemudian mereka meneruskan perlajalanannya
menuju keraton Cirebon, tetapi sebelumnya Ki Suro menlajutkan perjalanan
mendadak dikagetkan dengan kedatngan Nyi Mas Rara Anten, yang memohon Nyi Mas
Ratu Antra Wulan untuk dijodohkan dengan putranya. Lalu terjadi perang tanding
yang seru selanjutnya Nyi Mas Ratu Anten bisa ditaklukkan.
Perjalanan
dilanjutkan kembali, sesudah sampainya di keraton Cirebon, Ki Suro menyerahkan
Nyi Mas Ratu Antra Wulan serta mengemukakan amanat Ki Pancawala pada Sunun
Gunung Jati. Tetapi amanat Ki Pancawal yang inginkan anaknya menikah dengan
Sunan Gunung Jati tidak di terima lewat cara halus, karna Sunan Gunung Jati
sebenarnya sudah mengetahui kalau Ki Suro suka pada Nyi Mas Ratu Antra Wulan.
Karenanya Sunan Gunung Jati memerintahkan Ki Suro menikah dengan Nyi Mas Rtau
Antra Wulan.
Sesudah
Ki Suro serta Nyi Mas Ratu Antra Wulan jadi suami istri, mereka membuat
pedukuhan/perkampungan disebuah tegalan ditengahnya rimba yang dulu ada satu
gubug kecil yang mereka sempat singgahi pada saat perjalanan dari kerajaan
Talaga menuju keraton Cirebon.
Pedukuhan
itu atas izin serta restu dari Sunan Gunung Jati, serta dinamakan “Tegal Gubug”
yang mana nama itu terbagi dalam dua suku kata yakni :
•
Tegal berarti : Tanah yang dicangkul untuk ditanami
•
Gubug berarti : Tempat tinggal kecil yang terbuat dari bambu serta atapnya dari
daun tebu
•
Tegal gubug : Satu tempat tinggal kecil yang begitu simpel terbuat dari bamboo,
yang sekelilingnya ada tegalan (galengan) yang siap ditanami.
Momen
terjadinya nama Tegal Gubug ini berlangsung sekitaran 1489 M. Sekitaran akhir era
ke 15 ketika kesultanan Cirebon di pimpin oleh kanjeng Syaikh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. Yang disebut satu diantara Wali dari
Walisongo, yang dituahkan ilmunya oleh Rekan-rekannya.
Sesudah
terjadi satu nama pedukuhan/perkampungan Tegal Gubug, lalu Ki Suro meneruskan
misinya untuk selalu menebarkan Ajaran Islam. Dapat dibuktikan dengan pesatnya
Agama Islam di sekitar Masyaratnya, yang saat itu masih tetap meyakini
(berpedoman, menyembah) Agama Nenek moyangnya yakni : Animisme (aliran/keyakinan
pada benda) serta Dinamisme (aliran/keyakinan pada Roh) serta Hindu, Budha.
ASAL USUL CIWARINGIN
Di
zaman kapungkur, sapanjang walungan Ciwaringin masih tetap mirupa leuweung.
Dina hiji dinten dongkap dua jalmi sinatria di tanah wetan, anu namina Tubagus
Ismail Sakar Kedaton sareng Tubagus H. Duliman, kadua sinatria eta teh
katurunan kasultanan Cirebon di subang Khairudin.
Maksud
maksud kadua sinatria eta dongkap ti leuweung gongong si magongong eta kangge
nebihkeun sebagian desakan pamarentahan Belanda nu waktos eta ka sultanan di
cepeng ku Sultan Matangaji, teras kadua sinatria eta ngabukbak tatangklan di
sapanjang walungan Ciwaringin sareng ngedamel sasaungan kangge tempat netep.
Tempat
nyumput maranehannana enteu sempat di kayahakeun ku Belanda, teras dararongkak
jalmi-jalmiti beberapa tempat nu sanes ka tempat maranehannana. Saterasna
tempat eta mungkin saja loba nungieusianana teras desa eta di pasihan nami
“Desa Ciwaringin” sakertos name walungan nu aya didinya.
Disebab
Ciwaringin kusabab di tungtung walungan aya hiji tanggul Cairingin anu ageng,
mulia sareng iyuh. Dina waktos ayeuna Tubagus Ismail sareng Tubagus H. Duriman
naluaran tatangkalan di leuweung Ciwaringin, didinya aya tembok tebeng anu
sampai ayeuna masih tetap aya tilas-tilasna.
ASAL USUL KLANGENAN
Cerita
ini bermula saat Kerajaan Mataram yang di pimpin oleh seseorang Raja, Raja itu
begitu tertarik serta simpati pada ajaran agama Islam, ia mengutus ke-2
putranya yaitu Raden Parta Kesumaatmaja serta Raden Kesumaatmaja untuk menuntut
pengetahuan agama Islam di Cirebon.
Pada
saat itu perubahan agama Islam di Cirebon begitu cepat di pimpin oleh Syarif
Hidayatullah yang bergelar jadi Sunan Gunung Jati. Setelah memperoleh restu,
Raden Parta Kesumaatmaja serta Raden Kesumaatmaja pergi menuju Kesultanan Cirebon
serta segera diterima hangat oleh Sinuhun Cirebon.
Keduanya
jadi murid yang patuh serta taat pada ajaran agama Islam seperti yang di
ajarkan oleh gurunya. Sesudah cukup lama tinggal berguru di Cirebon, Raden
Parta Kesumaatmaja memohon izin untuk pergi ke daerah Majalengka lantas tinggal
di sekitaran aliran sungai Cimanuk yang mengalir hingga ke Indramayu. Sedang
adiknya Raden Kesumaatmaja tinggal di Cirebon sesuai sama perintah ayahanda
serta gurunya.
Saat
datang tantangan perang Kerajaan Rajagaluh yg tidak suka pada perubahan aga
Islam di wilayahnya, Sunan Gunung Jati memberikan tugas beberapa sepupuh
Cirebon termasuk juga Raden Kesumaatmaja untuk hadapi tantangan perang itu.
Raden Kesumaatmaja dibantu Ki Ragapati, Ki Sangkal, Ki Torek, serta Nyi Sebrod
dengan tulus ikhlas terima pekerjaan untuk hadapi perang di daerah perbatasan
(sekitaran Desa Pegagan). Dalam peperangan itu, Raden Kesumaatmaja memperoleh
kemenangan gilang-gemilang.
Sesudah
kondisi aman serta perang usai, Raden Kesumaatmaja bersama beberapa pembantunya
diizinkan untuk membangun pedukuhan di rimba yang di dalamnya ada satu bukit.
Pedukuhan itu dinamakan Wanagiri. “Wana” berarti rimba, sedang “Giri” berarti
gunung. Sedang Raden Kesumaatmaja dijuluki Buyut Nampabaya, oleh karna “keikhlasannya
terima bahaya perang.
Disuatu waktu Buyut Nampabaya bersama
pengikutnya membuat pertemuan dibawah sebatang pohon besar yang teduh (ada di
tempat balai desa saat ini). Dalam pertemuan itu ia terasa “Nglangen” atau suka
sekali bisa nikmati keindahan alam, terlebih panorama ke arah selatan yang
menarik dan hijau serta birunya Gunung Ciremai. Setelah itu tempat itu
seringkali dipakai tempat bermusyawarah untuk membahas beragam kebutuhan
orang-orang.
Ki
Buyut Nampabaya bersama pengikutnya setuju berikan nama tempat pertemuan itu
Klangenan. Nama itu diabadikan sampai saat ini untuk nama Desa Klangenan, juga
nama Kecamatan Klangenan.
ASAL USUL WATUBELAH
konon
saat perjalanan ke gendeng alang alang dari galuh ke cirebon karna di panggil
prabu siliwangi untuk memperoleh titah mengepalai lokasi cirebon ingin buka
perdukuhan di lemah wungkuk, istirahat dibawah pohon beringin yang begitu
teduh. tetapi tercengang dengan kondisi lokasi yang banyak batu batuan besar.
lokasi itu sangat lain dengan lokasi yang ditemuinya karna banyak alang alang,
rimba jati serta pesawahan. tetapi lokasi ini beda, banyak batu batuan besar.
belum juga keheranan hilang nambah heran sekali lagi terdengar nada tangis
bayi, didalam batuan besar itu. saat itu juga di gecik lah batuan itu sampai
terpecah dua sama bentuk. jadi bayi tersebut di asuh serta di ajarkan keilmuan
olehnya, serta dalam mimpinya bayi itu yaitu anak dari bidadari atau sebangsa
peri. jadi dinamakanlah sela pada karna dari batu yang dipecah terbelah dua
sama besar. serta di buka satu pemukiman masyarakat oleh ki gendeng alang alang
di lokasi itu. dalam sistem pembukaan tempat pemukiman batu batuan besar
tersebut di pecahkan jadi kerikil2 serta pasir. masyarakat yang di bawah oleh
ki gendeng alang alang dari lokasi sekelilingnya. serta saat dalam sistem
pembukaan tempat pemukiman dengan memecahkan batu batuan sampai kecil masing
masing masyarakat ada yang tulus melakukannya serta ada pula beberapa yang
menginginkan memperoleh imbalan (bila saat ini imbalan jasa harta atau jasa
jabatan di karesidenan). jadi terjadi momen dalam masing masing masyarakat
untuk yang tulus jalannya memecahkan batu tdk ada kendala serta kesusahan,
demikian sebaliknya untuk yang menginginkan imbalan alami kesusahan dalam
sama-sama pecah atau tidak kompak (tdk gotong royong). saat buka tempat
pemukiman nyaris usai dibawah batu batuan yg dipecah ada susunan tanah
pesawahan serta perkebunan dengan tanah yang subur. singkat narasi sela pada
dewasa jadi di buat satu pendopo untuk sela pada mengajarkan pengetahuan ke
tiap-tiap orang-orangnya. serta nama pemukiman itu watubelah. saat ki gendeng
alang alang ingin mangkat di perintahkan sela pada untuk buka pemukiman di
lokasi indramayu bunder karna keadaan nya sama dengan lokasi terlebih dulu.
Dalam perjalanan pertama serta ke-2 lancar membawa masyarakat ke lokasi itu
dengan pesannya senantiasa dalam ke gotong royongan serta ketulusan. apabila
tidak tulus bonggan mengko panjengan bertikai karo batur lan sedulur. dalam
perjalanan ke tiga berjumpa dengan rombongan syeh sarif hidayatullah, karna di
tanya tidak menjawab jadi berkelahilah sela pada oleh rombongan syeh syarif
hidayatullah. hingga tidak sepadan jadi lari kedalam batu di gecik batu itu
jadi dua. serta masuk sekali lagi ke batu yang lain. di lokasi indramayu.
singkat narasi lolos lah sela pada tetapi memperoleh hukuman oleh ki gendeng
alang alang, karna yang menguber nya itu yaitu seseorang sunan yang besar serta
seseorang pemangku tahta di cirebon sedang sela pada cuma hanya rakyat jelata
yang cuma di asuh. serta di asingkan ke lokasi sabrang.
Jadi
kemudian lokasi watubelah serta bunder indramayu orang-orangnya di pimpin oleh
pangeran cakrabuana yang disebut mbah kuwu cirebon II sesudah ki gendeng alang
alang (mbah kuwu cirebon I). Serta jalan terus-terusan jadi rakyat pemecah batu
serta rakyat petani Dan perkebunan.
Mengenai
warisan dari ki gede sela pada suatu kotak peti ukuran kecil di lanjutkan oleh
pangeran cakrabuana yang didapatkan dari ke gendeng alang alang. kotak peti itu
satu deskripsi lokasi desa watubelah serta sekelilingnya di mana setiap
tahunnya beralih ganti berisi. serta tiap-tiap bln. muludan dibuka dlihat
wujudnya. Setiap th. upacara buka jimat sudah jadi kebudayaan setempat, jimat
peti cilik di buka didalamnya senantiasa beralih bentuk sesuai sama musim yang
berada di desa itu. sampai hingga th. 1988 upacara buka jimat ketika muludan
itu masih tetap berjalan.
Singkat
narasi, setalah berjalan sebagian keturunan bertukar jadi ada keturunan yang
lain memperistrikan seseorang bidadari juga. Dengan tunggangannya kuda sembrani
serta sesudah mangkat di pendam di lokasi itu hingga kuburan itu jadi makam
keramat buyut sawen serta kuburan kuda nya di pendam di pesalakan makam simadu.
hingga saat ini kuburannya masih tetap ada.
Website
budaya di Desa Watubelah
1.
bangunan keramat ki gede selapada
2.
makam keramat buyut sawen
3.
makam dawa kembar
4.
makam gaman
5.
makam ki kerta menggala
6.
undukan batu berupa gapura.
Mata
pencahariannya orang-orangnya :
Pemecah
batu, penggali pasir, bertani serta berkebun
Semboyan
hidup warisan ki gede selapada :
Bonggan
sira baka silo karo dunyo (harta serta jabatan), mengkone pada pecah pada
sedulur lan batur, sipate punya sedulur ojo diambil, melas karo anak putu.
Dadi
manungso kudu manganne sing gusti pangeran kang sipate kemulyaan, baka dudu
manungso manganne sing parkayangan kang sipate angkoro murko.
Urip
kudu tulus ojo serakah sedulur kasusahan kudu di tolong/dibantu. wong tuo kudu
di hormati.
Siro
weru karo gusti pangeran lan ilmune dunyo asale sing wong tuo.
Hati
hati/awas janganlah silau dengan duniawi (harta serta tahta), kelak pecah belah
sama sodara serta rekan. rejeki haknya saudara janganlah diambil, kelak terkena
balasannya kasian anak cucu.
Jadi
seseorang manusia mencari rejeki dari Allah yang sifatnya kemulyaan, jika
bukanlah manusia mencari rejekinya dari parkayangan yang berbentuk angkara
murka (kecurangan, tipu muslihat, serta melukai orang)
Hidup
harus yang tulus janganlah serakah, sodara kesulitan di tolong dengan
sedapatnya, orangtua harus dihormati karna kita mengetahui Allah karna
orangtua.
ASAL
USUL BEDULAN
Histori Bedulan bermula pada th. 1556 yang
waktu itu tanah bedulan masih adalah rimba rimba yang tidak berpenghuni serta
dibawah kekuasaan kerajaan cirebon yang waktu itu kerajaan Cirebon diperintah
oleh Sunan gunung jati atau yang bergelar Syehk Syarif Hidayatullah serta pada
waktu itu kerajaan cirebon adalah kerajaan islam pertama di jawa barat hingga
cirebon membina hubungan diplomatic dengan demak yang waktu itu adalah kerajaan
islam paling besar di tanah jawa. Ada keterikatan Sejarah pada babad bedulan
dengan astana gunung jati Berkenaan dengan di rebutnya wilaya Jakarta atau
waktu itu yang bernama sundakelapa oleh portugis pada th. 1561 Masehi maka
kerajaan
demak yang waktu itu diperintah oleh raden patah begitu kawatir dengan portugis
hingga kerajaan demak memerintahkan seseorang panglimanya yang bernama
patahillah dengan sekitaran 30, 000 tentaranya untuk mengusir portugis dari
sundah kelapa yang waktu itu dirubah namanya oleh
portugis
Jadi Repoblik Batav atau yang lebih dikenal dengan nama Batavia. Berkenaan
dengan itu maka peluang itu tidak ditinggalkan oleh pihak cirebon untuk
menolong pihak demak yang menginginkan menyerang sunda kelapa karna pihak
Cirebon juga terasa terancam dengan terdapatnya portugis di sunda kelapa waktu
itu sehingga pada th. 1562 pihak
kerajaan
cirebon mengutus seseorang panglima wanita yang bernama Nyi, Mas Baduran untuk
menyiapkan satu tempat yang juga akan di pakai sebagai persinggahan sementara
pasukan demak yang juga akan menyerang Batavia, Sehingga diutuslah Nyi, Mas
Baduran untuk mempersiapkan tempat persinggahan itu dan dengan seizin dari Mbah
Kuwu Cirebon atau pangeran Walang Sungsang kalau Nyi, Mas Baduran di
persilahkan menebang rimba yang tak bertuan yang terdapat di samping utara
pelabuhan muara jati atau yang saat ini Lokasi celangcang serta sebelumnya
berangkat
Nyi,
Mas Baduran di bekali jimat oleh Mbah Kuwu Cirebon Berbentuk Selendang Yang
menurut mbah kuwu selendang itu Nyi, Mas Baduran juga akan begitu bermanfaat
dalam melakukan tugasnya untuk buka tempat hutan itu. Sesampainya di wilayah
rimba samping utara pelabuhan Muara jati Nyi, Mas Baduran menebang pohon dan
menyatukan rerumputan kering yang lalu hingga kelelahan serta berfikirlah Nyi,
Mas Baduran kalau ia seseorang diri menebang pepohaonan rasa-rasanya tidak juga
akan mampu untuk menyimpan beberapa pasukan demak yang sangat banyak hingga ia
berinisiatif untuk membakarnya dan sesudah rerumputan ilalang yang terbakar
membumbung
asapnya
ke angkasa lalu Nyi, Mas Baduran menyabatkan selendangnya ke bara api itu
supaya api
itu
cepat merambat sembari menyabatkan selendang ia mengucap hingga di mana bara
api ini terjatuh jadi tempat itu adalah tanah baduran. Sesudah bara padam Nyi,
Mas Baduran lalu berkeliling-keliling untuk meyakinkan batas- batas wilayahnya
dan pada akhirnya bara itu jatuh
hingga
lokasi Desa Bojong Serta batas desa bakung sehiingga kigede bakung terasa
tersinggung dengan Nyi, Mas Baduran yang menurut dia sudah merampas tanahnya
hingga berlangsung pertikaian atau perkelahian pada kigede bakung dengan Nyi,
Mas Baduran di wilayah tapal batas bakung dengan tanah bedulan sekarang konon
tuturnya perkelaian itu hingga berlangsung berminggu-minggu sampai keduanya
kehabisan tenaga serta kesaktian sehingga hingga ketika kigede bakung terasa
kalah serta mundur tetaoi lalu ada tanaman labuhitan yang tersangkut di kaki
Nyi, Mas
Baduran
hingga terjatuh lihat hal sesuai sama itu kigede bakung menghunuskan kerisnya
hingga Nyi, Mas Baduran terluka tetapi Nyi, Mas Baduran tidak hanya diam juga
sempat menusukan kerisnya ke badan kigede bakung hingga ki gede bakung tewas
ditempat itu namun luka taklama setelah kigede bakung meninggal Nyi, Mas
Baduran pun menyusul tidak kuat tetapi sebelumnya Nyi, Mas Baduran wafat ia
pernah berpesan pada anak cucu supaya kelak janganlah menanam pohon labu hitam
tersebut di tanah bedulan hingga sampai saat ini orang-orang bedulan tak ada
yang berani
menanamnya.
Mendengar berita Nyi, Mas Baduran sudah meninggal pihak keraton cirebon sangat
menyayangkan hal tersebut hingga di utuslah putri dari Nyi, Mas Baduran sendiri
yang bernama Nyiu, Mas Pulung Ayu dengan didampingi pangeran jaya lelana untuk
menguburkanya dengan layak
serta
melanjutkan tugasnya untuk mempersiapakan satu padukuan sebagai persinggahan
pasukan Demak yang juga akan tiba serta kemudian dirampungkanlah tugas Nyi, Mas
Baduran oleh pangeran jaya lelana dbersama dengan Nyi, Mas Pulung ayu serta
kemudian nyi mas Pulung Ayu memutuskan untuk tinggal di daerah baduran untuk
meneruskan serta menjaga kuburan dari sang ibunya. Kemudian pada th. 1563
datanglah tentara demak yang dipimpin oleh Fatahillah serta di seranglah
Batavia serta portugispun bisa ditaklukkan serta lalu Repoblic batav di ganti
namanya jadi Jaya
Karta
yang berarti Kota kemenangan serta jaya karta saat ini di kenal dengan nama
Jakarta sesudah di taklukanya Batavia pada th. 1563 jadi banyak dari tentara
Demak yang memilih
untuk
tinggal di padukuan baduran hingga padukuan baduran yang sebelumya cuma tempat
persinggahan saat ini jadi sebua pedukuan yang ramai akan penduduknya serta
pada tahun 1565 baduran resmi menjadi
satu desa yang di kepalai oleh seseorang akuwu yaitu kuwu wertu kkemudian pada
th. 1576 desa baduran di naikan setatusnya menjadi pademangan dengan seseorang
demang Pangeran jaya lelana jadi demang yang bergelar adipati Suranenggala.
Lalu pada th. 1782 pihak kerajaan cirebon yang waktu itu telah lemah wilayahnya
sedikit untuk sedikit dikuasai oleh pihak belanda atau VOC Waktu itu jendral
Van hotman sebagai ajudan daripada Dengles memerintahkan agar pademangan
baduran di hilangkan serta di ambil alih kekuasaanya oleh residen Cirebon yang
bermarkas di kerucuk saat ini serta tanah bedulan di untuk dua menjadi karang
reja serta tanah baduran serta sejak saat itu nama baduran bertukar jadi
Bedulan memakai loga belanda serta bedulan jadi desa kembali lalu pada th. 1952
bedulan di pecah menjadi dua sisi yakni desa
Suranenggala
kidul atau bedulan kidul dan Surangenggala Lor Atau Bedulan Lor lalu pada th.
1982 bedulan lor dipecah kembali jadi dua desa yakni Suranenggala Lor Serta
Suranenggala serta bedulan kidul dipecah jadi dua desa juga yakni desa
suranenggala kidul dan suranenggala kulon. Dan menurut perda no 17/02/12/ thun
2006 suranenggala jadikan nama kecamatan dengan resmi serta hingga saat ini
Suranenggala adalah nama desa serta kecamatan dan nama bedulan yaitu nama dari
persatuan dari desa-desa itu.
ASAL-USUL DS. BAYALANGU CIREBON
Bayalangu
Babad Tanah Bayalangu….. Bayalangu menurut Bhs gaul yaitu Bahaya yang sudah
berlalu…jadi apa pun bahaya bila telah masuk lokasi bayalangu jadi bahaya nya
sudah berlalu terkecuali bahaya korupsi desa…. bayalangu begitu populer dengan
kekeramatan ki gede Bayalangu yang begitu termashur serta sakti mandraguna
menurut orang- orangtua yang berikan info pada penulis yaitu seseorang maha
patih dari banten yang tengah menjajal kesaktian karna mungkin saja didaerah
bantennya tak ada yang bisa menandingi, beliau dengan mengendarai kuda
semberani datang melawat cirebon tetapi sebelumnya tiba di tujuan persisnya di
satu pulau majeti beliau terjaring oleh jaring kakek tua (yang sesungguhnya
yaitu pangeran Cakrabuana) yang disebar ke atas.. serta jatuh ke atas sawah
yang tengah menguning berbentuk padi merah maka dari itu hingga hari ini Cucu
serta anak turunan Kigede Bayalangu dilarang untuk memiliki jaring serta tanam
beras merah hingga saat itu ki gede bayalangu yang waktu itu bernama Mandalika
bertekuk lutut di hadapan kakek tua itu dari situlah beliau mengabdi pada ki
kuwu cirebon…. Sesudah ki gede bayalangu jadi Abdi dari Mbah ki kuwu cirebon
beliau di beri lokasi kekuasaan di daerah aliran sungai anak ciwaringin yang
saat ini dimaksud Bayalangu yang mana ketika itu masih tetap berbentuk alas
belantara tetapi dengan seluruh kesaktiannya ki gede bayalangu bisa membabat
alas dengan gampang serta luas (karna pada saat itu belumlah ada buldoser serta
traktor) hingga pengerahan kesaktian juga akan begitu efisien untuk membabad
tanah bayalangu Kekeramatan ki gede bayalangu sangatlah populer bahkan juga
hingga ke Kalimantan serta sumatera mengenai satu diantara pengetahuan
kesaktian yang dipunyai oleh ki gede bayalangu yang tersohor yaitu GELAP NGAMPAR
yang mana di nusantara cuma ada dua orang yang memilikinya yakni Maha patih
GAJAH MADA… mengenai cirri ciri khas dari kesaktian itu yaitu bisa kuasai petir
atau bhs bayalangunya GLEDEG jadi di ruang pemakaman ada Pesarean KI BUYUT
GLEDEG diakui oleh orang-orang setempat serta sekelilingnya bisa dapat
mengobati luka bakar yang disebabkan oleh Petir (hayooo…. orang Bayalangu yang
di rantau jangan pernah lupa ke ki buyut karna begitu kita teringat kematian
kita and janganlah lupa kasih sedikit oleh2 buat kunci roni ya… ya alakadarnya
saja) Ruang keramat di puncak Keramat… Ki gede Bayalangu dalam melindungi
lokasi teritorialnya pantas ditiru serta jadikan jadi standard patokan untuk
melindungi lokasi. Ruang desa bayalangu yang termasuk juga luas bila dibanding
dengan desa yang beda termasuk juga desa yang memiliki basis pertahanan serta
wadya bala yang mumpuni seumpama Bayalangu di samping barat diberi
teritorialnya pada Ki Buyut Kaciraga yang mana masih tetap hingga hari ini
beliau senantiasa menolong bila ada kesusahan dalam hadapi pertempuran mirip
contoh Bayalangu VS gegesik yang baru- baru terjadi…Gegesik di buat kocar kacir
karna ada pasukan yg tidak di kenal turut menjaga wilayahnya …. tersebut
keuntungan jadi anak cucu buyut Bayalangu karna hingga hari ini pasukan tidak
di kenal tidak sempat terlihat serta ada.
ASAL USUL DESA PALIMANAN
Desa
Palimanan terdapat di pusat kota Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon, luasnya
26. 764 Ha, terbagi dalam tanah bukit serta tanah datar di kaki gunung Ciremai.
Pada
th. 2006, penduduknya berjumlaah 5. 586 orang terdiri daari lelaki 2. 842 orang
serta wanita 2. 861 orang, mata pencaharian beberapa besar penduduknya
pedagang, ada juga yang petani serta pegawai negeri.
Saat
semula tumbuh serta mengembangnya ajaran Islam di bawah kekuasaan Kerajaan
Islam Cirebon yang di pimpin Kanjeng Sinuhun Syekh Syarif Hidayatullah serta
Rama uwaknya Pangeran Cakrabuana (Mbah Kuwu Cirebon), beliau mengutus seseorang
kesatria tentukan tanding untuk menggempur serta menundukkan beberapa orang
yang masih tetap kafir serta memusuhi Islam, jadi seseorang kesatria barusan
mengubah bentuk jadi Nyai Mas Gandasari, Nyai berarti wanita, Mas berarti
seseorang lelaki, gandasari berarti mempunyai dua kemaluan, wanita serta
lelaki. Nyai Mas Gandasari sebelumnya maju ke medan pertempuran terlebih dulu
menitipkan pelanangannya atau PELI (penis) pada seseorang Ki Gede yang sakti
mandra manfaat (raga poyan). Singkat ceritera selesai pertempuran Nyai Mas
Gandasari punya maksud akan ambil PELI yang dititipkan pada Ki Gede barusan,
tetapi apa yang berlangsung, demikian kecewa karna PELI yang dititipkan barusan
tanpa ada disengaja “keeleg”/Bhs Cirebon (termakan) serta masuk dalam perut,
disebabkanPELI barusan ditelan kedalam mulut Ki Gede, jadi berkatalah Nyai Mas
Gandasari pada Ki Gede : “Mangan PELI kaya buta”/Cirebon (makan PELI seperti
seseorang raksasa), saat itu Ki Gede beralih ujud jadi seseorang raksasa. Dari
peristiwa tersebut jadi daerah itu diberi nama Palimanan, yang lalu jadi Desa
Palimanan.
Pada
pertengahan era ke 15, sekitaran th. 1450 M, lokasi pedukuhan Cheribon masih
tetap dikuasai Prabu Cakraningrat Kerajaan Galuh yang berkedudukan di Rajagaluh
bawahan kerajaan Pajajaran. Ketika itu penguasa Kerajaan Galuh Pakuan untuk
lokasi Cheribon dipercayakan pada Panglima Perangnya yang bernama Ki Patih Arya
Kiban atau Ki Gede Palimanan dibantu oleh Arya Gempol, Arya Sutem, Arya Igel
serta yang lain. Pusat perwakilan kerajaan berkedudukan di Palimanan jadi pintu
gerbang pertahanan serta untuk memonitor/mengawasi kondisi Kerajaan Islam
Cirebon di bawah pimpinan Syekh Syarif Hidayatullah.
ASAL
USUL GEGESIK
Pangeran
Gesang/Ki Gede Gesik berkedudukan di Gesik-Tengah Tani memiliki tiga anak
lelaki serta satu orang anak wanita yakni Ki jagabaya, Ki Sumerang, Ki Baluran
serta Nyi Mertasari. Saat memijak dewasa, ke-4 anak itu memohon untuk kuasai
tanah cakrahan yang dipunyai ayahnya jauh sebelumnya dikerjakan babad rimba.
Atas keinginan anak-anaknya itu Ki Gede Gesik membuat perundingan dengan Ki Kutub
(Sunan Gunung Jati) serta Ki Sangkan (Ki Kuwu Cerbon) yang akhirnya di terima
serta di setujui dengan. Ki Gede Gesik setelah itu memerintahkan ke-4 anaknya
untuk membagi tanah cakrahan kepunyaannya yang terdapat dibagian utara
perbatasan tanah Cirebon dibarengi seseorang utusan Ki Kutub yang bernama Ki
Warga asal Danalaya, manfaat melihat serta memberi pertimbangan dalam pembagian
tanah itu. Setelah tiba di tanah cakrahan yang juga akan diberikan, mereka
menjumpai jalan buntu karna ke-3 anak lelaki memiliki pendirian yang
bertentangan dengan saudaranya yang wanita. Ketiganya berpendirian kalau
pembagian untuk anak lelaki mesti berlainan dengan anak wanita. Anak wanita
cukup memperoleh sisi tanah sebesar payung. Sudah pasti pendirian ke-3
saudaranya itu ditentang Nyi Mertasari, karna menurut dia pembagian mesti sama
luas. Pertentangan pendapat ini cukup menelan saat lama serta kecil keinginan
bisa dikerjakan, tengah Ki Warga sendiri tidak mampu mengatasainya. Oleh karna
cukup lama tak ada berita kabar, Ki Kutub begitu cemas juga akan keselamatan Ki
Warga serta setelah itu memerintahkan Ki Panunggul asal Pajajaran menyusul ke
tanah cakrahan untuk ketahui kehadiran mereka. Sesudah memperoleh keteragan Ki
Warga kalau pembagian tanah cakrahan belum juga terwujud bahkan juga
menyebabkan pertikaian, Ki Panunggul buat kebijakan dengan membuat sayembara
yang di terima semuanya pihak di mana Ki Panunggul melakukan tindakan jadi juri
serta Ki Warga saksi. Disebutkan oleh Ki Panunggul pada mereka kalau “
barangsiapa di antara mereka bisa menadatangkan beberapa jenis hewan isi rimba,
jadi tanah cakrahan ayahnya semuanya jadi miliknya”. Berturut-turut sayembara
diawali dari Ki Jagabaya serta paling akhir Nyi Mertasari. 1. KI JAGABAYA :
Kurun waktu dalam waktu relatif cepat bisa mendatangkan kuda ekor panjang
berkerocok baja, serta seekor anjing berbulu tidak tipis. 2. KI SUMERANG :
Sesudah tangannya menepak air sungai mendadak jadi kering (Kaliasat) serta
keluar buaya putih yang cukup besar. 3. KI BALURAN : Dengan tusukan jarinya
kedalam tanah nampaklah seekor ular yang besar seperti pohon kelapa. 4. NYI
MERTASARI : Memberikan tangannya ke kanan serta ke kiri dengan mengatakan
banteng, singa, macan, badak, jadi berdatanganlah binatang-binatang yang
disebutnya itu. Usai lakukan sayembara, Ki Panunggul sebagai juri lakukan
penilaian sebagai berikut : 1. Hasil Ki Jagabaya Kuda berbuntut panjang serta
anjing berbulu tidak tipis tidak dipandang hewan isi rimba tetapi hewan
piaraan. 2. Hasil Ki Sumerang : buaya putih yg tidak kecil dipandang hewan
laut. 3. Hasil Ki Baluran : ular sebesar pohon kepala dipandang hewan umum
serta ada di mana-mana 4. Hasil Nyi Mertasari : banteng, macan, singa serta
badak dinyatakan benar tempatnya di rimba serta Nyi Mertasari dinyatakan jadi
pemenang sayembara.
Atas
kemenangannya itu, semua tanah cakrahan dinyatakan jadi hak punya Nyi
Mertasari, tengah ke-3 saudaranya tidak memperoleh kekuasaan/hak atas tanah
ayahnya itu sedikitpun. Sesudah pernyataan serta penyerahan tanah pada Nyi
Mertasari, Ki Panunggul dengan Ki Warga pulang untuk mengemukakan laporan pada
Ki Kutub tentang semua suatu hal yang terjadai pada pembagian tanah cakrahan Ki
Gede Gesik, mulai sejak menjumpai jalan buntu sampai pada akhirnya diadakan
sayembara yang di terima dengan baik oleh Ki Kutub. Ke-3 anak lelaki yang tidak
berhasil/kalah dalam sayembara terasa menyesal serta kecewa (setelah
ditinggalkan Ki Panunggul serta Ki Warga). Selang beberapa saat datanglah Ki
Warsiki dari Kedungdalem hampiri ketiganya serta bertanya kenapa mereka tampak
gundah, murung serta sedih. Pertanyaan Ki Warsiki dijawab dengan selalu jelas,
serta dikisahkan oleh ke-3 anak lelaki Ki Gede Gesik itu dari pertama hingga
akhir. Sesudah Ki warsiki ketahui duduk persoalannya, ia merekomendasikan
supaya ke-3 anak itu selekasnya menghadap Ki Kutub agar bersedia meninjau
kembali ketentuan sayembara yang dikerjakan Ki Panunggul. Anjuran Ki Warsiki di
terima baik, walau demikian mereka tidak berani segera menghadap Ki Kutub.
Mereka pada akhirnya memohon pertolongan serta pertolongan Ki Warsiki untuk
menghadap Ki Kutub mengemukakan ketidakpuasan berdasar hasil sayembara Ki
Panunggul. Ki Warsiki menyebutkan bersedia serta mampu menghadap Ki Kutub, ia
memohon di beri sisi tanah cakrahan jadi sinyal jasa. Dengan penuh kepercayaan
Ki Warsiki pergi menghadap Ki Kutub. Sesampainya di Keraton, ia mengemukakan
maksud kunjungannya serta bercerita ketidakpuasan ke-3 anak Ki Gede Gesik dalam
pembagian tanah cakrahan lewat cara sayembara serta memohon pertimbangan Ki
Kutub agar meninjau kembali ketentuan Ki Panunggul. Ki Kutub menyebutkan kalau
hal tersebut mungkin dikerjakan, seandainya Nyi Mertasari jadi pemenang tanpa
ada paksaan bersedia berunding. Bukanlah main senangnya Ki Warsiki sesudah
mendengar jawaban Ki Kutub. Lalu Ki Warsiki menjumpai Nyi Mertasari serta
membujuknya agar ingin berunding kembali dengan ke-3 saudaranya dalam masalah
ketentuan sayembara. Atas dampak Ki Warsiki, Nyi Mertasari Menyebutkan
kesediaannya untuk meninjau kembali ketentuan hasil sayembara, serta pada akhirnya
Nyi Mertasari memberi beberapa tanah cakrahan pada saudara-saudaranya serta ia
memastikan sendiri batas-batas tanah yang didapatkan pada ke-3 saudaranya itu.
Ki Jagabaya di beri tanah sisi samping utara, Ki Sumirang sisi selatan, Ki
Baluran sisi barat laut, serta bekasnya yang ada ditengahnya yaitu sisi Nyi
Mertasari sendiri. Sesudah pembagian tanah bisa dikerjakan serta di terima
semuanya pihak, mereka lalu berunding kembali serta mengambil keputusan Ki
Jagabaya jadi Ki Gede Jagapura, Ki Sumirang jadi Ki Gede Bayalangu, Ki Baluran
jadi Ki Gede Guwa serta Nyi Mertasari jadi Nyi Gede Gesik. Diputuskan pila Nyi
Gede Gesik Jadi pemimpin daerah itu, karna kelebihannya dalam sayembara. Sesuai
sama janji untuk memberi sinyal jasa, Ki Gede Jagapura berikan tanah yang
terdapat di samping selatan jagapura blok situnggak. Ki Gede Bayalangu berikan
tanah di blok sikacang, serta Nyi Gede Gesik meskipun tidak menjanjikan berikan
tanah juga di blok sijinten. Mengenai Ki Gede Guwa tidak berikan tanah, karna
letaknya sangat jauh. Jadi gantinya Ki Warsiki memohon agar Ki Gede Guwa
bersedia menanggung keperluan kebiasaan masyarakat kedungdalem berbentuk
gamelan panggung. Oleh karenanya sampai saat ini ada tanah sisi kedungdalem
yang terpisah dari tanah kedungdalem, yakni blok situnggak, sikacang, sijinten,
serta blok panggung wayang. Nyi Gede Gesik walau seseorang wanita walau
demikian besar sekali keinginannya untuk kuasai tanah, sampai membuat pelebaran
dengan menebang rimba yang ada di pinggir pantai samping timur laut dari
daerahnya yakni di daerah luwung (leuweung/rimba) Gesik (saat ini terdapat
dikritikatan krangkeng kabupaten Indramayu). Sesudah Ki Kutub ketahui Nyi Gede
Gesik Punya maksud kuasai Luwung Gesik, ia melarangnya. Menurut Ki Kutub tanah
itu spesial disiapkan untuk beberapa dedemit serta siluman. Oleh karenanya Nyi
Gede Gesik tidak jadi lakukan pelebaran. Ki Panunggul begitu tertarik juga akan
kecantikan Nyi Gede Gesik, serta punya maksud menginginkan membuatnya istri.
Atas anjuran Ki Warga, Ki Panunggul menjumpai Ki Lebe Embat-embat untuk
menikahkannya, walau demikian Ki Lebe tidak dapat memenuhinya serta dianjurkan
untuk menjumpai Ki Lebe Bakung, lalu Ki Lebe Bakung dengan Ki Panunggul pergi
menuju Gesik untuk melakukan perkawinan dengan Nyi Gede Gesik. Dari perkawinan
dengan Ki Panunggul Nyi Gede Gesik Memiliki keturunan dua orang. Anak lelaki
dinamakan Raja Pandita, serta yang wanita tidak dimaksud namanya. Raja Pandita
sesudah dewasa dicintai oleh Ki Sangkan serta ditugaskan melindungi keamanan di
daerah ibunya. Mengenai anak wanita dicintai oleh ki Lebe Bakung, serta karna
sayangnya Ki Lebe Bakung memohon pertimbangan pada Ki Warga untuk meniokahinya.
Sembari tersenyum ki Warga menyebutkan pada Ki Lebe Bakung sekian “kapi asem
teman apa ora lingsem cocok ngawinaken m’boke, anake arep dikawin dewek”. Karna
kalimat itu Ki Lebe Bakung setelah itu dimaksud Ki Lebe Asem. Selanjutnya
terwujud juga perkawinan dengan anak wanita Nyi Gede Gesik itu. Dari perkawinan
ini Ki Lebe Asem memiliki keturunan dua orang anak lelaki. Sesudah dewasa ke-2
anak ini memohon orang tuanya agar bisa kuasai daerah kekuasaan. Atas anjuran
Ki Warga, tanah kekuasaan Nyi Gede Gesik dibagi serta diserahkan pada ke-2
cucunya itu.
•Bagian
dearah Karadenan lalu jadi Gegesik Kidul •Bagian daerah Ketembolan lalu jadi
Gegesik Lor Oleh karenanya Ki Lebe Asem memiliki putra sekali lagi sejumlah dua
orang, tanah Nyi gede Gesik dibagi jadi dua itu lalu semasing dibagi dua sisi
sekali lagi. Keradenan (GegesikKidul) jadi Karacenan serta Kedayungan (Gegesik
Wetan) ; Ketembolan (Gegesik Lor) jadi Ketembolan serta Kecawetan (Gegesik
Kulon). Sebutan itu memberikan tanda-tanda pemimpin serta rakyat dari semasing
desa seperti berikut. Gegesik Kidul/Keradenan pemimpinnya berbentuk
keningratan, rakyatnya sukai/pintar mengarang kalimat (nganggit omongan).
Pimpinan Gegesik Wetan/kedayungan menonjol dalam soal baik ataupun jelek,
rakyatnya sukai beramai-ramai tanpa ada isi. Gegesik Lor/ketembolan pemimpinnya
ditaati bawahan, rakyat senatiasa menggerutu dibelakang ; sedang Gegesik
Kulon/kecawetan pemimpinya disiplin, rakyatnya selalu menyerah tanpa ada sisa.
kalau blok pulau rancang ada sejarahnya tidak, itu termasuk wilayah desa gegesik kulon
ReplyDelete