Pura Dalam Balingkang berdiri megah pada tempat seluas 15 hektar di lokasi Desa Pakraman Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli....
Pura Dalam Balingkang berdiri megah pada tempat seluas 15 hektar di
lokasi Desa Pakraman Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Untuk
menuju Pura Dalam Balingkang, mesti turun dari Pura Pucak Penulisan menuju
Banjar Paketan di Desa Pakraman Sukawana. Dari Banjar Paketan menuruni jalan
berliku dengan pemandangan indah jejeran gunung Batur, gunung Abang, serta
gunung Agung menuju Pura Dalam Balingkang. Pura Pucak Penulisan adalah hulunya
Pura Dalam Balingkang, karna Pura Dalam Balingkang pas menghadap ke Pura Pucak
Penulisan. Pura Dalam Balingkang seakan-akan dikelilingi oleh tembok yang
terbagi dalam bubungan berbentuk perbukitan yang memutari kawah gunung Batur
terdapat di samping timur, barat, utara serta selatan. Selain itu juga
dikelilingi oleh sungai Melilit yang disebut sumber mata air untuk orang-orang
sekelilingnya. Pura Dalam Balingkang terdapat di samping barat lebih kurang 2,
5 km. dari pemukiaman atau perumahan orang-orang Desa Pakraman Pinggan. Sejarah
Pura Dalam Balingkang juga akan dibicarakan dari sebagian pojok pandang, salah
satunya : 1) Berdasar pada Purana Pura Dalam Balingkang th. 2009, 2) Berdasar
pada mitos orang-orang di sekitaran Pura Dalam Balingkang, serta 3) Berdasar
pada Kekawin Barong Landung.
Purana Pura Dalam Balingkang (2009)
Purana Pura Dalam Balingkang mengatakan kalau maharaja Sri Haji
Jayapangus beristana di gunung Panarajon. Pada saat pemerintahannya maharaja
Sri Haji Jayapangus didampingi oleh permaisuri beliau yang bergelar Sri
Parameswari Induja Ketana. Beliau Sri Parameswari Induja Ketana dikatakan
sebagai putri paling utama yang begitu bijak. Beliau datang dari danau Batur
yang disebut keturunan Bali Mula atau Bali asli. Pada saat pemerintahan saat
itu yang menjabat jadi Senapati Kuturan yaitu Mpu Nirjamna. Beliau memiliki dua
orang penasehat yang bergelar Mpu Siwa Gandhu serta Mpu Lim. Mpu Lim memiliki
dayang wajahnya cantik bernama Kang Cing We, putri dari I Subandar yang
memperistri Jangir yakni wanita Bali.
Sesudah lama Kang Cing We jadi dayang Mpu Lim, ada hasrat beliau Sri
Haji Jayapangus untuk memperistri Kang Cing We sekalian diupacarai. Oleh karna
sekian hasrat beliau, segaralah beliau Mpu Siwa Gandhu menghadap serta memberi
anjuran pada baginda raja. Kalau kehendak baginda raja memperistri putri I Subandar
yakni Kang Cing We tidak pas, karna baginda raja beragama Hindu sedang Kang
Cing We beragama Buddha. Namum, saran Sang Dwija tidak diindahkan oleh baginda
raja. Geramlah baginda raja pada Bhagawantanya, oleh karna sekian Mpu Siwa
Gandu tak akan jadi penasehat di kerajaan Panarajon. Cepatlah baginda
menyelenggarakan upacara pernikahan, yang disaksikan oleh beberapa rohaniawan
dari agama Hindu ataupun agama Buddha, beberapa petinggi seperti sang pamegat,
beberapa petinggi desa, serta beberapa karaman. Sesudah sebagian lama upacara
pernikahan berlalu, I Subandar menghadirkan dua keping uang kepeng atau pis
bolong untuk bekal putrinya mengabdi pada baginda raja. Setelah itu masa datang
supaya baginda raja menganugrahkan dua keping uang kepeng atau pis bolong itu
pada rakyat beliau yang berada di semua pulau Bali. Jadi fasilitas upacara
yajña atau kurban hingga masa datang.
Bedasarkan perjanjian Sri Haji Jayapangus dengan Kang Cing We
teersebut, geramlah Mpu Siwa Gandhu pada sikap baginda raja. Beliau Mpu Śiwa
Gandhu melakukan tapa brata memohon anugerah pada beberapa dewa supaya
berlangsung angin ribut serta hujan lebat sepanjang sebulan tujuh hari. Karna
memang sungguh-sungguh khusuk Mpu Siwa Gandhu melakukan tapa brata, jadi
benarlah berlangsung angin puting beliung serta hujan lebat. Hancurlah keraton
Sri Haji Jayapangus di Panarajon. Beliau Sri Haji Jayapangus disertai oleh
sisa-sisa abdinya mengungsi ke tengah rimba, yaitu ke lokasi Desa Jong Les.
Disana beliau secara cepat merabas semak belukar serta rimba lebat, juga
diperlengkapi dengan upacara serta upakara yajña.
Bangunan suci kerajaan baginda raja saat ini bemama Pura Dalam
Balingkang. Kata “Dalem” di ambil dari kata tempat itu yang dimaksud Kuta Dalam
Jong Les. Mengenai kata Balingkang di ambil dari kata “Bali”, yakni baginda
raja jadi menguasa jagat Bali Dwipa. Kata “Kang” sesungguhnya di ambil dari
nama istri beliau yang bernama Kang Cing We. Ada sekali lagi dijelaskan, ketika
baginda raja mengungsi dari Panarajon ke tengah rimba dimaksud Kuta Dalam.
Disana beliau berhasil memusatkan fikiran beliau hingga ke fikiran terdalam
atau daleming cita memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau berhasil membuat
keraton serta tempat suci di Kuta Dalam. Sesudah beliau memerintah di
Balingkang kembali sejahteralah semua kerajaan Bali Dwipa. Lebih-lebih sesudah
didampingi oleh ke-2 permaisuri beliau yang senantiasa duduk di kiri-kanan
singasana beliau. Mengenai yang mengikuti atau mengabih di kanan bergelar Sri
Prameswari Induja ketana, serta di kiri bergelar Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna
atau Kang Cing We. Dan beberapa petinggi kerajaan serta beberapa abdi atau
rakyat beliau semua.
Berdasar pada Mitos Orang-orang di Sekitaran Pura Dalam Balingkang
Berdasar pada mitos yang berkembang pada orang-orang di sekitaran Pura
Dalam Balingkang. Dikisahkan kalau pada zaman dulu ada seseorang raja yang
bernama Sri Jayapangus. Beliau beristana di bukit Panarajon, dan keraton beliau
di Kuta Dalam. Awalnya waktu beliau memerintah di Panarajon beliau memiliki
seseorang permaisuri bernama Dewi Mandul atau seseorang permaisuri yg tidak
dapat melahirkan. Sri Jayapangus berkemauan memiliki seseorang putra untuk
melanjutkan tahta atau kedudukannya di Panarajon. Tetapi, hasrat beliau tidak
terkabulkan berhubung permaisuri tidak bisa melahirkan seseorang putra. Satu
saat beliau jalan-jalan di Pasar Kuta Dalam, beliau berjumpa dengan seseorang
wanita yang wajahnya cantik yang disebut putri saudagar dari Cina. Karna lihat
kecantikan putri itu, jadi ada hasrat beliau untuk mengawininya dengan
diam-diam. Tanpa ada lewat upacara yang disaksikan oleh beberapa petinggi
kerajaan, ataupun tanpa ada sepengetahuan permaisuri beliau yakni Dewi Mandul.
Perkawinan dengan diam-diam Sri Jayapangus dengan putri Cina itu di ketahui
oleh Bhatara Śiwa. Pada akhirnya Bhatara Śiwa mengusir Sri Jayapangus dari
Panarajon karna kekeliruan beliau lakukan perkawinan tanpa ada upacara yajña,
yg tidak sepatutnya dikerjakan oleh seseorang raja.
Sri Jayapangus yang disertai oleh ke-2 permaisurinya menuruni bukit Panarajon,
menelusuri rimba menuju arah timur laut ketika hujan deras serta angin puting
beliung. Beliau tanpa ada mengetahui capek selalu meneruskan perjalanan
menuruni perbukitan, serta pada akhirnya hingga disuatu tempat yang bernama
Gunung Lebih. Disana beliau beristirahat serta lakukan pemujaan pada beberapa
dewa, memohon panduan dan memohon perlindungan-Nya. Saat lakukan pemujaan
beliau memperoleh sabda atau pawisik dari beberapa dewa supaya selalu
meneruskan perjalanan hingga hujan serta angin reda. Jika hujan serta angin
mulai reda, jadi disanalah beliau diperintahkan untuk menempatkan satu sinyal
serta membuat satu keraton. Ketika beliau turun dari bukit Panarajon di kenal
dengan arti Kuta Dalam Jong Les.
Mengingat sabda atau pawisik dari beberapa dewa itu, beliau selalu
meneruskan perjalanan menuruni bukit Panarajon yang disertai oleh ke-2
permaisurinya. Pada akhirnya beliau hingga disuatu tempat yang bernama Dharma
Anyar, yakni tempat pertapaan untuk orang suci baik Mpu, Maha Rsi, atau yang
lain. Setibanya beliau di Dharma Anyar hujan serta angin mulai reda, pada
akhirnya di Dharma Anyar beliau membuat keraton yang di kenal dengan nama
Balingkang. Disana beliau kembali membenahi kerajaan seperti dulu di Panarajon.
Dan didampingi oleh beberapa Senapati Kuturan, petinggi kerajaan, serta ke-2
permaisurinya.
Pernikahan Sri Jayapangus dengan putri Cina yang disebut-sebut Dewi
Danuh, melahirkan seseorang putra yang bernama Mayadanawa. Mayadanawa di kenal
dengan titel Dalam Bedahulu yang beristana di Pejeng. Beliau berhasil
ditaklukkan oleh Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Makin lama sisa keraton
Sri Jayapangus di Balingkang jadikan tempat pemujaan atau tempat suci untuk
memuja Sri Jayapangus serta ke-2 permaisurinya yang sudah disucikan lewat
upacara yajña. Sampai hingga saat ini di kenal dengan nama Pura Dalam
Balingkang.
Berdasar pada Kekawin (geguritan) Barong Landung
Kehadiran Pura Dalam Balingkang juga termuat dalam Geguritan Barong
Landung yang ditulis oleh I Nyoman Suprapta (dalam tesis Juta Ningrat, 2010),
seperti berikut :
Dikisahkan seseorang raja yang tersohor, bijaksana serta banyak menulis
prasasti-prasasti yang berisi mengenai proses upacara keagamaan, beliau bernama
Sri Haji Jayapangus tempat kerajaan beliau di Bukit Panarajon. Dalam pemerintahanya
didampingi oleh seseorang permaisuri yang bernama Dewi Danuh putri dari
keturunan Bali Mula. Kelama-kelamaan datanglah seseorang pedagang dari negeri
Cina yang bernama Dewi Ayu Subandar dengan seseorang putri cantik berkulit
putih serta bermata sipit yang di kenal dengan nama Kang Cing We. Kang Cing We
lalu diangkat jadi pelayan Mpu Lim. Karna Kang Cing We seringkali ada di
keraton serta mempunyai muka yang begitu cantik, terpikatlah hati sang raja
untuk memperistrinya. Dengan hal tersebut sang raja menginformasikan pada
penggawa kerajaan serta rakyatnya untuk menyiapkan upacara perkawinan.
Mendengar berita demikian rupa, jadi menghadaplah satu diantara Bhagawanta raja
yaitu Mpu Siwa Gandu. Sang Bhagawanta raja merekomendasikan sang raja tidak untuk
mengawini Kang Cing We, karna raja tidak bisa mempunyai dua permaisuri diluar
itu juga Kang Cing We beragama Buddha sedang Sri Haji Jayapangus beragama Śiwa
atau Hindu. Sang raja tidak dengarkan saran sang Bhagawanta raja serta tetaplah
besikukuh untuk mengawini Kang Cing We. Hingga terselenggaralah upacara
perkawinan itu. Karna Sang Bhagawanta terasa sarannya tidak diindahkan oleh
Jayapangus, jadi geramlah Sang Bhagawanta serta melakukan tapa brata membuat
bencana, hujan lebat, gempa serta bencana lainnya hingga hancurlah kerajaan
beliau. Dengan kehancuran kerajaan beliau, jadi dipindahkanlah kerajaannya ke
Jong Les atau Dalam Balingkang. Perkawinannya dengan Dewi Danuh mempunyai
seseorang putra yang bernama Mayadenawa serta diangkat jadi raja di Bedahulu.
Sedang perkawinanya dengan Kang Cing We tidak memiliki keturunan. Karna lama
tidak memiliki keturunan untuk meneruskan pemerintahanya di Dalam Balingkang.
Sedang Dewi Danuh telah moksa, jadi sang raja memohon ijin pada Kang Cing untuk
bertapa di puncak gunung Batur. Seraya memohon anugrah supaya dikaruniai
seseorang putra. Sesampainya di puncak gunung berjumpalah dengan seseorang
putri yang begitu cantik, hingga jatuh cintalah Sang raja pada waita itu. Lama
sang raja tidak kirim berita ke keraton Dalam Balingkang jadi disusullah oleh
Kang Cing We ketempat pertapaan. Sesampainya Kang Cing We di tempat pertapaan
diliat sang raja tengah berkasih-kasihan dengan seseorang wanita cantik. Lihat
peristiwa sesuai sama itu jadi geramlah Kang Cing We serta memaki-maki wanita
itu yang tidak ada beda yaitu penjelmaan dari Dewi Danuh untuk menggoda tapanya
sang raja. Karna terasa dianya dimaki-maki oleh seseorang manusia atau Kang
Cing We. Jadi geramlah Sang Dewi itu secepat kilat keluar api dari dahi-Nya
serta api itu menguber Kang Cing We serta membakarnya. Hingga meninggal
dunialah Kang Cing We. Dengan kematian Kang Cing We sang raja juga jadi sedih
serta berduka hingga disudahilah tapanya. Karna sang raja terlebih dulu
mengakui belum juga mempuyai istri pada Sang Dewi, jadi Sang Dewi mengambil
keputusan sang raja memperoleh hukuman yang setimpal, serta pada akhirnya sang
raja bernasib sama. Atas sepeninggal beliau berdua atau sang raja serta sang
permaisuri dari kerajan, jadi rakyatnya juga menyusul ke tempat pertapaan,
serta temukan junjunganya telah meninggal dunia. Rakyat Dalam Balingkang jadi
sedih serta memohon ke pada Sang Dewi untuk menghidupkan kembali ke-2
junjunganya. Lihat ketulusan hati permintaan rakyat Dalam Balingkang itu jadi
Sang Dewi mengabulkan permohonya namun berbentuk lingga berbentuk Barong
Landung Lanang-Istri. Lalu Sang Dewi memerintahkan rakyat Dalam Balingkang
untuk membawa ke-2 lingga itu ke Dalam Balingkang serta diberi anugrah kalau
ke-2 lingga itu dapat memberi perlindungan dari alam niskala atau memerintah
dari alam niskala. Sesampainya di Dalam Balingkang dibuatkanlah upacara agama.
Maharaja Sri Haji Jayapangus dengan ke-2 permaisurinya dijelaskan juga
dalam prasasti Cempaga A Ib. 1-2, yakni seperti berikut :
Ing çaka 1103 çrawanamāsa i thi nāwami çuklapakā, ma, pa, wāraning
wayangwayang, irikā diwaça ājnā pāduka çri mahārāja.
Ja Hāji Jayapangus, Hārkajalañcana, sahā rājapātnidwaya pāduka Bhtāri
Çri Parameswari Indujakotana, Pāduka Çri Mahādewi Çaçangkajacihnā.
Terjemahan :
Berangka th. 1103 Çaka serta mengatakan nama raja Paduka Sri Maharaja
Haji Jayapangus Harkajalancana serta ke-2 orang permaisurinya semasing bernama
Paduka Bhatari Sri Prameswari Indujaketana serta Paduka Sri Mahadewi
Sasangkajacihna (Atmodjo, 1975).
Narasi diatas melukiskan kalau pada saat pemerintahan Sri Haji
Jayapangus, telah berlangsung jalinan yang erat pada Śiwa serta Buddha. Bahkan
juga ke-2 tokoh agama disebut telah jadikan penasehat kerajaan, yakni Mpu Siwa
Gandhu tokoh ajaran Śiwa serta Mpu Lim tokoh ajaran Buddha. Jalinan agama juga
tampak pada perkawinan Sri Haji Jayapangus dengan Kang Cing We. Selanjutnya
terjadi dua unsur yang berlainan yakni unsur purusa serta pradana atau
Śiwa-Buddha.
Mitologi-mitologi yang berkembang dimasyarakat bisa menguatkan system
keyakinan untuk umat Hindu-Buddha. Berdasar pada momen atau peristiwa yang
sempat berlangsung pada zaman dulu. Seperti seseorang raja yang dapat memberi
perlindungan pada rakyatnya. Hingga sesudah beliau meninggal dunia disucikan
berdasar pada upacara yajña. Dan dipuja atau disungsung oleh pengikutnya, lalu
beliau dimaksud bhatara. Pura Dalam Balingkang yaitu tempat bersthananya Ida
Bhatara Dalam Balingkang atau Sri Haji Jayapagus. Bersama leluhur raja-raja di
Panarajon yang sempat berkuasa di Bali. Sesudah disucikan dengan upacara yajña,
jadi Sri Haji Jayapangus disetarakan dengan Dewa Surya atau Dewa Śiwa oleh
beberapa pemuja-Nya.

COMMENTS